Bobo.id - Di sebuah hutan, tinggallah seekor keledai. Maxi namanya.
Maxi bagaikan katak dalam tempurung. Ia tak pernah bersahabat dan mengenal perilaku binatang hutan lainnya.
Pada suatu hari, Maxi merasa jemu dengan suasana hutan. Ia ingin berjalan-jalan.
Belum lama berjalan-jalan, ia bertemu dengan seekor binatang yang belum pernah dilihatnya.
“Selamat pagi, kawan,” sapa Maxi.
“Lo? Kau mengenalku? Kita, kan, belum pernah bertemu?” tanya Maxi keheranan.
“Ya memang belum pernah. Tetapi semua zebra bahkan zebra yang masih kecil pun mengenalmu. Misalnya kalau di sekolah mereka membuat kesalahan dalam berhitung atau lupa sewaktu menghafal sajak, maka….”
“Aku tahu! Pasti mereka bilang persis seekor keledai. Betul, kan?” tanya Maxi ketus. Ia merasa terhina.
“Lalu, kau, siapa namamu?” tanya Maxi.
“Namaku Zebra! Semua makhluk di hutan ini sangat menghormatiku. Manusia juga menghormatiku. Misalnya mereka selalu menyeberang di tempat penyeberangan yang dinamakan zebra cross, seperti namaku,” ujar Zebra dengan sombong.
Dengan hati sedih keledai meninggalkan teman barunya.
“Ah, kalau saja aku memiliki garis-garis hitam di tubuhku. Pasti semua makhluk akan mengormati aku juga,” pikir Maxi Keledai. Ia lalu berjalan dengan langkah gontai.
“Hai Keledai, mengapa wajahmu begitu sedih?” sapa seekor kera.
“Eh, selamat siang, kawan. Aku…,” jawab Maxi gelagapan.
“Sudahlah! Tenangkan dulu dirimu, baru kau ceritakan kesedihanmu,” kata kera yang terkenal cerdik. “O ya, perkenalkan namaku Kera,” sambungnya lagi.
“Kera, aku sedang berpikir bagaimana caranya agar aku memiliki garis-garis hitam seperti Zebra,” kata Keledai menceritakan kesedihannya.
“Ha ha ha…. Itu, sih, soal mudah. Kalau kamu mau, aku bisa menolongmu. Tapi, ada syaratnya.”
“Apa syaratnya? Cepat katakan!” desak Keledai yang sudah tak sabar lagi.
“Sudah lah! Tenangkan dahulu dirimu, baru kau ceritakan kesedihanmu,” kata Kera yang terkenal cerdik.
“O ya, perkenalkan, namaku Kera!”
“Kera, aku sedang berpikir bagaimana caranya agar aku mempunyai garis-garis hitam seperti Zebra,” kata Kekedai menceritakan kesedihannya.
“Ha ha ha… Itu, sih, soal mudah. Kalau kau mau, aku bisa menolongmu, tapi dengan syarat.”
“Ya, apa syaratnya? Cepat katakan!” desak Keledai tak sabar lagi.
“Syaratnya mudah saja. Kau hanya harus menunjukkan padaku kebun pisang yang ada di hutan ini.”
“Baiklah!”
Kera lalu mengambil sebuah arang dan mulai menggambar garis-garis hitam di tubuh Maxi keledai.
Satu jam kemudian, selesailah tugas Kera. Tubuh Maxi sudah bergaris-garis seperti zebra.
“Sobat, sudah selesai,” kata Kera.
“Nah, sekarang giliranmu untuk memenuhi permintaanku.”
Keledai lalu pergi ke sebuah sungai. Di sana ia bercermin di permukaan air.
“Ah, sekarang semua orang akan menghormati aku. Binatang-binatang lain tidak akan emnganggap aku binatang bodoh,” ujarnya dengan puas.
Keledai lalu mengajak Kera menyeberang sungai. Pohon pisang yang mereka cari, letaknya di seberang sungai.
Kera yang tak pandai berenang naik ke atas punggung Maxi si Keledai.
Akan tetapi, apa yang terjadi? Bukankah arang akan luntur jika terkena air?
Keledai tidak menyadari perubahan itu. Setibanya di seberang, Maxi Keledai kembali bercermin di permukaan air.
“Uh, Kera penipu? Mana garis-garis hitamku?” tanya Keledai sambil menangis. Ia menendang-nendang Kera.
Untung di tepi sungai itu ada Burung Hantu yang terkenal arif dan bijaksana.
Kera lalu mengadukan apa yang sebenarnya terjadi.
“Keledai, kau tak usah menangis. Garis-garis yang dibuat Kera itu sementara sifatnya. Sedangkan garis-garis hitam yang dimiliki Zebra adalah karunia Tuhan, yang tak mungkin hilang. Kau tak usah merasa iri karenanya. Bukankah kau juga memiliki keistimewaan? Misalnya kau disenangi manusia karena dapat membantu menarik pedati,” ujar Burung Hantu.
Setelah mendengarkan apa yang disampaikan oleh Burung Hantu, Maxi Keledai menyadari kelebihannya. Ia berjanji tidak akan iri lagi.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Cis.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Bobo.id |
KOMENTAR