“Baiklah!”
Kera lalu mengambil sebuah arang dan mulai menggambar garis-garis hitam di tubuh Maxi keledai.
Satu jam kemudian, selesailah tugas Kera. Tubuh Maxi sudah bergaris-garis seperti zebra.
“Sobat, sudah selesai,” kata Kera.
“Nah, sekarang giliranmu untuk memenuhi permintaanku.”
Keledai lalu pergi ke sebuah sungai. Di sana ia bercermin di permukaan air.
“Ah, sekarang semua orang akan menghormati aku. Binatang-binatang lain tidak akan emnganggap aku binatang bodoh,” ujarnya dengan puas.
Keledai lalu mengajak Kera menyeberang sungai. Pohon pisang yang mereka cari, letaknya di seberang sungai.
Kera yang tak pandai berenang naik ke atas punggung Maxi si Keledai.
Akan tetapi, apa yang terjadi? Bukankah arang akan luntur jika terkena air?
Keledai tidak menyadari perubahan itu. Setibanya di seberang, Maxi Keledai kembali bercermin di permukaan air.
“Uh, Kera penipu? Mana garis-garis hitamku?” tanya Keledai sambil menangis. Ia menendang-nendang Kera.
Untung di tepi sungai itu ada Burung Hantu yang terkenal arif dan bijaksana.
Kera lalu mengadukan apa yang sebenarnya terjadi.
“Keledai, kau tak usah menangis. Garis-garis yang dibuat Kera itu sementara sifatnya. Sedangkan garis-garis hitam yang dimiliki Zebra adalah karunia Tuhan, yang tak mungkin hilang. Kau tak usah merasa iri karenanya. Bukankah kau juga memiliki keistimewaan? Misalnya kau disenangi manusia karena dapat membantu menarik pedati,” ujar Burung Hantu.
Setelah mendengarkan apa yang disampaikan oleh Burung Hantu, Maxi Keledai menyadari kelebihannya. Ia berjanji tidak akan iri lagi.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Cis.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Bobo.id |
KOMENTAR