Esoknya, Nino benar-benar tidak bisa bangun dari tempat tidur.
“Nah, aku bilang juga apa?” Nodi meraba kening Nino. “Kalau begini kamu harus istirahat dan minum obat!”
Oh, Nino sedih sekali. Ia tidak bisa bersekolah. Padahal hari ini ada kelas membuat mainan. Nino sudah menyiapkan bahan-bahan untuk membuat kapal-kapalan. Membuat mainan adalah pelajaran yang paling ditunggunya setiap pekan.
“Sebentar aku buatkan bubur hangat!” Nodi beranjak meninggalkan kamar Nino.
Nino pasrah. Saat kembali nanti, Kak Nodi pasti tidak hanya membawa bubur hangat, tapi juga obat yang pahit. Tetapi kalau sudah terbukti sakit, tentu saja Nino tidak bisa mengelak lagi.
“Nah, ini buburnya sudah jadi. Makanlah!” Nodi datang membawa nampan. “Minum ramuan ini juga. Hanya jahe, jeruk dan madu, tidak pahit. Kalau kamu sudah membaik, tidak perlu berobat ke Pak Gobi kan?” bujuk Nodi.
“Iya Kak, aku minum sekarang,” mendengar nama Pak Gobi dokter kurcaci disebut, Nino tak berkutik. Memang Nino selalu cocok dengan obat Pak Gobi, tapi pahitnya itu, luar biasa.
“Baguslah, aku berangkat kerja dulu!”
“Ya Kak,” kata Nino lemah.
“Tetap istirahat! Jangan keluar kamar. Aku akan mampir ke sekolahmu untuk meminta ijin karena kamu sakit,” kata Nodi sebelum pergi.
Iya, siapa juga yang mau keluar, badan lemas begini, keluh Nino dalam hati.
Setelah Nodi pergi, Nino merasa amat kesepian. Tiba-tiba ia ingin kakaknya yang cerewet itu tidak usah pergi bekerja, tetapi menemaninya saja di rumah. Ia mencoba memakan bubur hangat buatan Nodi, tetapi mulutnya terasa pahit. Ia kehilangan selera makan.
Penulis | : | Sepdian Anindyajati |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR