Otama sangat ketakutan. Wajahnya pucat. Saat itu, tangannya refleks mengambil kayu di tumpukan kayu bakar. Kayu itu dilemparnya dan mengenai hidung Tengu.
Tengu betul-betul terkejut. Bukan karena hidungnya kesakitan kena kayu. Namun karena ia tidak menduga Otama akan melemparinya kayu.
“Selama ini, aku pikir, karena aku bisa membaca pikiran manusia, maka aku bisa tahu apa yang akan manusia lakukan. Tetapi ternyata ada manusia yang melakukan sesuatu tanpa memikirkannya sebelumnya. Ternyata, manusia tidak bodoh seperti yang aku kira selama ini.”
Melihat Tengu yang tertegun, Otama bersiap-siap lari. Ia mengira Tengu akan sangat marah. Namun, Tengu malah tersenyum dan berkata,
“Kamu betul-betul gadis pintar. Aku semakin suka padamu. Sayangnya, karena aku kalah dalam permainan ini, aku tidak akan membawa kamu. Aku harus menepati janjiku.”
Tengu bersiap akan pergi. Namun, ia lalu menatap Otama lagi sambil memikirkan sesuatu. Ia lalu berkata lagi,
“Seperti kataku tadi, kamu betul-betul gadis yang berbeda. Kamu pemberani dan pintar. Aku akan memberimu sedikit kehebatan tengu padamu. Syaratnya, kamu tidak boleh menceritakan pertemuan ini pada siapapun.”
Otama hanya mengangguk, karena tak tahu harus berkata apa.
“Tengu bisa membaca pikiran manusia. Kamu pun bisa. Mulailah berlatih dengan menatap wajah orang lekat-lekat. Kamu akan tahu apa yang mereka pikirkan, hanya dengan melihat ekspresi wajah mereka. Cobalah! Itu akan sangat berguna.”
Tengu sekali lagi menatap Otama dengan rasa menyesal karena tak bisa membawanya pergi. Ia lalu menggerakkan sayapnya dan berkata,
“Ayahmu sudah datang!” Ia lalu terbang ke angkasa dan menghilang di antara pucuk-pucuk pohon. Ranting-ranting pepohonan itu masih bergerak ketika terdengar langkah kaki ayah Otama.
“Otama, kenapa kamu ada di sini? Itu tadi tengu, kan? Apa dia menyakitimu?” seru ayah Otama sambil berlari cemas menghampiri Otama.
Otama tersenyum lega dan memeluk ayahnya. “Ayah! Syukurlah Ayah sudah datang. Tengu tadi baik. Aku tidak takut.”
Otama dan ayahnya lalu masuk ke gubuk mereka. Mereka lalu makan malam bersama.
“Syukurlah kamu tidak apa-apa. Tadi Ayah ada sedikit urusan di desa. Ayah menyesal sudah meninggalkan kamu sendiri di sini,” kata ayah Otama.
Selama makan malam, Otama terdiam. Sesekali ia menatap wajah ayahnya dengan tajam.