Di hutan, kita kadang mendengar bunyi-bunyian aneh yang memecah keheningan malam. Ada bunyi langkah kaki, kepak sayap, suara burung hantu, atau desau angin yang menggerakkan ranting pohon. Akan tetapi, tidak banyak orang yang tahu, ada makhluk khusus yang hidup di hutan.
Di sebuah hutan di gunung Haguro, hiduplah seorang anak gadis bernama Otama. Ia tinggal bersama ayahnya di sebuah gubuk kecil yang dikelilingi pohon-pohon pinus dan pohon-pohon bambu tinggi.
Ayah Otama adalah seorang pembuat arang. Dari musim semi sampai musim gugur, ayah Otama akan membakar kayu untuk dijadikan arang di hutan. Sesekali, ia akan pergi ke desa untuk menjual arang-arangnya. Otama tinggal dengan ayahnya selama musim panas di gubuk kecil itu. Ia membersihkan rumah, memasak, dan membantu ayahnya mengurusi arang.
Suatu hari, ayahnya pergi ke desa untuk menjual arang. Ia meninggalkan Otama sendiri di gubuk di hutan. Otama tidak takut karena ia sudah terbiasa tinggal di hutan. Lagipula, ia memang seorang gadis yang pemberani.
Akan tetapi, ketika hari mulai gelap dan ayahnya belum juga pulang, Otama mulai merasa khawatir. Ia duduk di dekat perapian di gubuknya. Makan malam untuk ayahnya sudah ia sediakan.
Di luar gubuk sangat sepi. Sesekali hanya terdengar bunyi derik api. Otama sudah mengantuk, namun ia tetap menunggu ayahnya. Ketika matanya sudah hampir tertutup, tiba-tiba ia tersadar lagi karena mendengar bunyi aneh. Otama mengira itu ayahnya, tetapi ternyata bukan. Mungkin hanya bunyi angin, pikir Otama.
Ia lalu memejamkan mata, ingin menunggu ayahnya sebentar lagi. Akan tetapi, sekali lagi terdengar bunyi. Otama lalu melihat pintu terbuka sedikit, lalu tertutup lagi. Seperti ada orang yang ingin masuk, tetapi tidak jadi.
Otama agak takut. Namun ia menenangkan diri sendiri dan menganggap itu mungkin angin. Sekali lagi, pintu sedikit terbuka. Kali ini, tampak ada cahaya merah di luar gubuk. Otama mengira itu api yang keluar dari sisa kayu bakar yang masih menyala. Otama bergegas keluar rumah untuk membasahi kayu-kayu bakar itu.
Ketika tiba di luar rumah, Otama baru sadar kalau cahaya merah itu bukan berasal dari kayu api pembakar arang. Namun dari pucuk pohon-pohon di lahan sekitarnya. Sebelum keheranannya hilang, tiba-tiba tampak sosok dengan sayap di punggung memutuskan itu apa, terlihat sosok pudar bercahaya dengan sayap di punggung. Sosok itu terbang menukik dari pohon, dan muncul di depan Otama.
Sosok itu ternyata seorang pria bersayap dengan kepala besar. Wajahnya bercahaya merah, hidungnya besar dan panjang.
Otama tahu. Itulah Tengu, roh hutan!
Tengu itu mendekati Otama dan menatapnya tajam. Otama sangat takut dan tak bisa bergerak. Tengu pasti akan mencakar atau membawa aku pergi ke sarangnya di hutan, pikir Otama.
Tiba tiba Tengu itu berhenti dan meletakkan tangannya di pinggang. Ia tertawa dengan suara keras,
“Jadi kamu pikir, aku akan mencakar dan membawa kamu pergi? Hmm, akan aku pikir-pikir dulu!”
Ia lalu melangkah mengitari dan mengamati Otama. Siapa tahu aku punya kesempatan untuk lari, pikir Otama lagi. Tengu itu kembali tertawa.
“Kamu pikir, kamu bisa lari dari aku? Kamu tak akan bisa. Lihatlah!”
Tengu lalu melesat terbang ke angkasa sampai ke pucuk pohon. Ia lalu terbang kesana-kemari, melesat cepat beberapa kali. Ia lalu mendarat lagi di depan Otama.
Sekarang, dia pasti akan mencabik aku, pikir Otama. Namun Tengu berkata lagi,
“Aku tidak akan mencakar kamu. Sebab kamu mempunyai hidung kecil yang bagus. Aku akan bawa kamu untuk menjadi mainan anak-anakku. Wajah anak-anakku mirip burung. Mereka pasti senang punya boneka cantik seperti kamu.”
Jadi, saat masih kecil, hidung tengu itu ada di moncong seperti burung? Begitu pikir Otama lagi. Kini ia tidak terlalu takut lagi. Ia jadi tertarik dan ingin tahu soal tengu, para roh hutan. Tengu itu lalu berkata lagi,
“Oo, jadi kamu baru tahu, ya, kalau anak-anak tengu itu mirip burung? Hanya tengu dewasa yang punya hidung besar sebagus hidungku.”
Otama hampir tertawa. Tengu ini tidak menakutkan. Mungkin aku bisa menipunya supaya aku tidak dibawa pergi, pikir Otama.
“Kalian manusia, kadang sombong. Kalian pikir, kalian pintar. Tapi sebetulnya, kalian tidak tahu apa-apa. Kamu tidak mungkin bisa menipuku. Tapi aku suka padamu, karena kamu anak yang cantik dan pintar. Aku tidak akan membawamu sekarang. Aku malah akan mengajakmu bermain,” kata Tengu.
“Mungkin kamu pikir, aku cuma kebetulan bisa menebak pikiranmu. Itu salah! Menebak pikiran adalah salah satu kehebatan tengu. Nah, sekarang, mulailah berpikir. Kalau aku salah menebak, walau satu kali pun, maka kamu yang menang. Dan aku tidak akan membawamu pergi. Tapi, kalau semua isi pikiranmu berhasil aku tebak, kamu kalah. Dan kamu akan aku bawa, menjadi teman anak-anakku! Kamu tidak akan kembali lagi ke sini!”
Tengu ini benar-benar ingin memperlihatkan kehebatannya pada Otama. Warna tubuhnya jadi semakin merah, dan bulu-bulu kecil di sayapnya berdiri tegak.
Otama tahu, mau tidak mau, ia harus menerima peraturan Tengu. Namun ia senang karena walau sedikit, ia punya harapan untuk lolos. Otama lalu duduk di dekat tumpukan kayu dan menatap si Tengu.
“Ayo, kita mulai,” kata Tengu. Ia lalu mulai mengoceh, memberi tahu apa pun yang terlintas di pikiran Otama.
“Kamu sedang berpikir, aku ini makhluk aneh. Bukan manusia, dan bukan juga binatang. Kamu ingin membuat kejutan untukku!” kata Tengu.
“Kamu sedang berpikir, ayahmu tidak terlalu jauh sekarang, dan dia akan menolongmu.”
“Kamu sedang berpikir, kamu harus memikirkan hal lain.”
“Kamu sedang berpikir, temanmu Kinu yang tinggal di desa, punya adik baru sekarang.”
“Kamu sedang berpikir, Kinu tidak terlalu suka punya adik baru. Dan Kinu cuma cerita hal ini padamu saja.”
“Kamu sedang berpikir, di rumah, kamu punya kotak hitam milik nenekmu dulu. Di dalamnya ada pita rambut yang masih terikat. Dan kamu ingin membukanya.”
Tengu terus berbicara dengan cepat. Matanya melotot semakin besar, dan ia melangkah semakin dekat pada Otama.
“Kamu sedang pikir, kamu tak tahu harus berpikir apa lagi.”
Kali ini, Tengu sudah dekat sekali dan akan menarik Otama.
Otama sangat ketakutan. Wajahnya pucat. Saat itu, tangannya refleks mengambil kayu di tumpukan kayu bakar. Kayu itu dilemparnya dan mengenai hidung Tengu.
Tengu betul-betul terkejut. Bukan karena hidungnya kesakitan kena kayu. Namun karena ia tidak menduga Otama akan melemparinya kayu.
“Selama ini, aku pikir, karena aku bisa membaca pikiran manusia, maka aku bisa tahu apa yang akan manusia lakukan. Tetapi ternyata ada manusia yang melakukan sesuatu tanpa memikirkannya sebelumnya. Ternyata, manusia tidak bodoh seperti yang aku kira selama ini.”
Melihat Tengu yang tertegun, Otama bersiap-siap lari. Ia mengira Tengu akan sangat marah. Namun, Tengu malah tersenyum dan berkata,
“Kamu betul-betul gadis pintar. Aku semakin suka padamu. Sayangnya, karena aku kalah dalam permainan ini, aku tidak akan membawa kamu. Aku harus menepati janjiku.”
Tengu bersiap akan pergi. Namun, ia lalu menatap Otama lagi sambil memikirkan sesuatu. Ia lalu berkata lagi,
“Seperti kataku tadi, kamu betul-betul gadis yang berbeda. Kamu pemberani dan pintar. Aku akan memberimu sedikit kehebatan tengu padamu. Syaratnya, kamu tidak boleh menceritakan pertemuan ini pada siapapun.”
Otama hanya mengangguk, karena tak tahu harus berkata apa.
“Tengu bisa membaca pikiran manusia. Kamu pun bisa. Mulailah berlatih dengan menatap wajah orang lekat-lekat. Kamu akan tahu apa yang mereka pikirkan, hanya dengan melihat ekspresi wajah mereka. Cobalah! Itu akan sangat berguna.”
Tengu sekali lagi menatap Otama dengan rasa menyesal karena tak bisa membawanya pergi. Ia lalu menggerakkan sayapnya dan berkata,
“Ayahmu sudah datang!” Ia lalu terbang ke angkasa dan menghilang di antara pucuk-pucuk pohon. Ranting-ranting pepohonan itu masih bergerak ketika terdengar langkah kaki ayah Otama.
“Otama, kenapa kamu ada di sini? Itu tadi tengu, kan? Apa dia menyakitimu?” seru ayah Otama sambil berlari cemas menghampiri Otama.
Otama tersenyum lega dan memeluk ayahnya. “Ayah! Syukurlah Ayah sudah datang. Tengu tadi baik. Aku tidak takut.”
Otama dan ayahnya lalu masuk ke gubuk mereka. Mereka lalu makan malam bersama.
“Syukurlah kamu tidak apa-apa. Tadi Ayah ada sedikit urusan di desa. Ayah menyesal sudah meninggalkan kamu sendiri di sini,” kata ayah Otama.
Selama makan malam, Otama terdiam. Sesekali ia menatap wajah ayahnya dengan tajam.