“Senyum itu bukan bukti dia masih hidup,” kata Raksi. “Apa kamu belum pernah lihat mayat yang tersenyum? Lagipula, anak ini terbaring di pemakaman,” Raksi merasa dia yang betul.
“Walaupun anak ini sudah mayat, tetap saja dia milikku. Karena sesuai pernjajian kita, kalau perempuan, milikmu. Kalau laki laki, milikku. Itu anak laki laki!” seru Rakso tak mau kalah.
“Itu bukan laki laki. Dia pakai baju perempuan. Rambutnya juga panjang dan bergelombang. Itu anak perempuan dan anak perempuan jadi milikku,” Raksi kembali memberi alasan.
“Walau itu anak perempuan, tapi ini malam hari. Jadi dia milikku,” kata Raksa.
“Walau ini malam, anak itu masih hidup. Jadi dia milikku,” jawab Raksi.
“Walau dia masih hidup, tapi dia laki laki. Anak laki-laki itu milikku,” kata Rakso lagi.
“Walau dia laki laki, tapi ini siang, bukan malam. Jadi ini milikku,” jawab Raksi.
“Walau ini siang, tapi dia masih hidup. Jadi dia milikku!” kata Rakso.
“Walau dia hidup, dia itu perempuan, bukan laki-laki. Kamu memang tidak mau menepati janji!” teriak Raksi.
“Jangan teriak padaku. Kamu memang siluman kasar!” teriak Rakso juga.
“Huh, aku lelah bertengkar denganmu!” kata Raksi akhirnya. “Lebih baik kita pergi ke Pak Hakim yang Bijak. Dia akan menyelesaikan pertengkaran kita. Dan kita harus patuh pada keputusannya!” usul Raksi.
Rakso setuju. Mereka lalu pergi ke tempat Pak Hakim yang Bijak.