Belum lama mereka pergi, Dahrea terbangun. Ia menggeliat dan menguap, lalu bangkit dan pergi ke desa. Ia berharap bisa menemukan sesuatu untuk dimakan.
Sementara itu, Rakso dan Raksi sudah bertemu Pak Hakim yang Bijak. Ia bertanggung jawab terhadap hukum di desa itu. Ia mengadili dengan adil semua warga desa, termasuk siluman di desa itu.
Raksa dan Raksi menceritakan pertengkaran mereka. Pak hakim yang Bijak menggelengkan kepala mendengar cerita mereka.
“Pertengkaran kalian tidak jelas bagiku. Kamu…” katanya sambil menunjuk ke Raksi. “Kamu bilang, sesuatu perjanjian, kamu berhak atas tubuh yang kamu temukan di siang hari, kan?’
“Ya, Pak Hakim,” kata Raksi. “Semua tubuh yang ditemukan di siang hari, jadi milikku.”
“Dan kau!” tunjuk Hakim ke Rakso. “Kamu bilang, tubuh yang ditemukan terbaring hidup, adalah milikmu!”
“Ya, Pak Hakim!” kata Rakso. “Pak Hakim pasti setuju, kalau aku yang benar!”
“Tunggu dulu, aku belum selesai,” kata Pak Hakim. “Ada syarat lain dalam perjanjian kalian. Yaitu, apakah anak itu laki-laki atau perempuan.”
“Ya, Pak Hakim. Karena anak itu perempuan, jadi dia milikku!” sambar Raksi.
“Kasus kalian ini membingungkan, walau kalian sudah punya perjanjian. Dan tidak akan selesai kecuali kalian mau berbagi,” saran Pak Hakim.
Dan seperti perkiraan Pak Hakim, kedua siluman itu lalu bertengkar lagi karena mereka tak mau berbagi. Pak Hakim melerai mereka dan memberikan jalan keluar.
“Baiklah, aku akan memberi keputusan sekarang. Namun, kalian harus tahu, bahwa sekarang ini, ada banyak anak yatim piatu yang kelaparan. Mereka sangat kelaparan sampai tidur seperti orang mati karena lemas. Baju mereka juga compang-camping sehingga sulit ditentukan, mereka itu laki-laki atau perempuan. Dan kadang, mereka tertidur di pemakaman sampai pagi hari, karena tak punya tempat ketika lelah di malam hari,” jelas Pak Hakim.