Di suatu desa di Himalaya, terdapat lebih banyak perempuan daripada laki laki. Para laki-laki di desa itu biasanya menikah dan pindah ke tempat lain. Akhirnya, tidak ada pemburu di desa itu. Macan dan serigala pun bertambah banyak. Mereka sering memangsa ternak warga desa.
Warga desa itu menjadi sangat miskin. Kekurangan makanan dan tidak ada uang untuk membeli pakaian baru.
Suatu hari, seorang anak pengembara yatim piatu berjalan di desa itu. Namanya Dahrea. Ia berkeliling dengan kaki tak bersandal, dan mengetuk pintu rumah untuk meminta makanan. Namun tak ada yang mau menolongnya karena semua warga juga miskin.
Akhirnya Dahrea berjalan menuju ke sebuah pemakaman. Ia lalu duduk berteduh di bawah pohon di dekat sebuah makam.
“Aku akan tidur di sini malam ini. Orang mati tidak berbahaya. Lagipula, aku tidak punya apapun untuk dirampok,” pikirnya.
Saat malam tiba, Dahrea tidur dan bermimpi indah. Ia bermimpi sedang bercakap gembira bersama ayah dan ibunya. Di depannya ada makanan enak. Dahrea merasa bahagia karena begitu disayang ayah ibunya. Dalam tidurnya itu, Dahrea tersenyum.
Saat menjelang pagi, bintang-bintang mulai pudar di langit. Matahari baru saja akan muncul. Tiba-tiba, muncullah dua siluman di atas pohon tempat Dahrea tidur di bawahnya. Siluman itu adalah Rakso dan Raksi.
“Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya Rakso “Aku yang berkuasa di malam hari, dan kamu cuma di siang hari. Itu perjanjian kita!” marah Rakso pada Raksi.
“Aku lebih hapal perjanjian itu dari pada kamu! Makanya aku datang di sini. Ini sudah menjelang pagi, bukan malam lagi. Kamu yang mengacau perjanjian,” omel Raksi.
“Bukan malam? Coba kamu lihat! Bintang-bintang masih bersinar di langit!” bantah Rakso
“Lihat ke sebelah Timur. Apa kamu tidak lihat cahaya matahari? Sejak kapan matahari bersinar di malam hari?” sahut Raksi lagi.
“Biarpun ini siang, tapi tubuh yang terbaring itu milikku. Sesuai perjanjian kita, tubuh yang terbaring tidur di rumput adalah milikku. Yang sudah mati, baru jadi milikmu. Anak ini hidup, lihat, dia senyum,” balas Rakso lagi.
“Senyum itu bukan bukti dia masih hidup,” kata Raksi. “Apa kamu belum pernah lihat mayat yang tersenyum? Lagipula, anak ini terbaring di pemakaman,” Raksi merasa dia yang betul.
“Walaupun anak ini sudah mayat, tetap saja dia milikku. Karena sesuai pernjajian kita, kalau perempuan, milikmu. Kalau laki laki, milikku. Itu anak laki laki!” seru Rakso tak mau kalah.
“Itu bukan laki laki. Dia pakai baju perempuan. Rambutnya juga panjang dan bergelombang. Itu anak perempuan dan anak perempuan jadi milikku,” Raksi kembali memberi alasan.
“Walau itu anak perempuan, tapi ini malam hari. Jadi dia milikku,” kata Raksa.
“Walau ini malam, anak itu masih hidup. Jadi dia milikku,” jawab Raksi.
“Walau dia masih hidup, tapi dia laki laki. Anak laki-laki itu milikku,” kata Rakso lagi.
“Walau dia laki laki, tapi ini siang, bukan malam. Jadi ini milikku,” jawab Raksi.
“Walau ini siang, tapi dia masih hidup. Jadi dia milikku!” kata Rakso.
“Walau dia hidup, dia itu perempuan, bukan laki-laki. Kamu memang tidak mau menepati janji!” teriak Raksi.
“Jangan teriak padaku. Kamu memang siluman kasar!” teriak Rakso juga.
“Huh, aku lelah bertengkar denganmu!” kata Raksi akhirnya. “Lebih baik kita pergi ke Pak Hakim yang Bijak. Dia akan menyelesaikan pertengkaran kita. Dan kita harus patuh pada keputusannya!” usul Raksi.
Rakso setuju. Mereka lalu pergi ke tempat Pak Hakim yang Bijak.
Belum lama mereka pergi, Dahrea terbangun. Ia menggeliat dan menguap, lalu bangkit dan pergi ke desa. Ia berharap bisa menemukan sesuatu untuk dimakan.
Sementara itu, Rakso dan Raksi sudah bertemu Pak Hakim yang Bijak. Ia bertanggung jawab terhadap hukum di desa itu. Ia mengadili dengan adil semua warga desa, termasuk siluman di desa itu.
Raksa dan Raksi menceritakan pertengkaran mereka. Pak hakim yang Bijak menggelengkan kepala mendengar cerita mereka.
“Pertengkaran kalian tidak jelas bagiku. Kamu…” katanya sambil menunjuk ke Raksi. “Kamu bilang, sesuatu perjanjian, kamu berhak atas tubuh yang kamu temukan di siang hari, kan?’
“Ya, Pak Hakim,” kata Raksi. “Semua tubuh yang ditemukan di siang hari, jadi milikku.”
“Dan kau!” tunjuk Hakim ke Rakso. “Kamu bilang, tubuh yang ditemukan terbaring hidup, adalah milikmu!”
“Ya, Pak Hakim!” kata Rakso. “Pak Hakim pasti setuju, kalau aku yang benar!”
“Tunggu dulu, aku belum selesai,” kata Pak Hakim. “Ada syarat lain dalam perjanjian kalian. Yaitu, apakah anak itu laki-laki atau perempuan.”
“Ya, Pak Hakim. Karena anak itu perempuan, jadi dia milikku!” sambar Raksi.
“Kasus kalian ini membingungkan, walau kalian sudah punya perjanjian. Dan tidak akan selesai kecuali kalian mau berbagi,” saran Pak Hakim.
Dan seperti perkiraan Pak Hakim, kedua siluman itu lalu bertengkar lagi karena mereka tak mau berbagi. Pak Hakim melerai mereka dan memberikan jalan keluar.
“Baiklah, aku akan memberi keputusan sekarang. Namun, kalian harus tahu, bahwa sekarang ini, ada banyak anak yatim piatu yang kelaparan. Mereka sangat kelaparan sampai tidur seperti orang mati karena lemas. Baju mereka juga compang-camping sehingga sulit ditentukan, mereka itu laki-laki atau perempuan. Dan kadang, mereka tertidur di pemakaman sampai pagi hari, karena tak punya tempat ketika lelah di malam hari,” jelas Pak Hakim.
Kedua siluman itu mengangguk mulai mengerti.
“Jadi, inilah yang harus kalian lakukan!” kata Pak Hakim yang Bijak. “Kalian masing-masing harus meletakkan sebongkah emas di dekat kepala anak itu. Kalau dia tetap terbaring di sana sampai besok, dan tidak menyentuh emas itu, itu artinya dia sudah mati. Jadi, dia milik Raksi. Tapi kalau dia mengambil emas itu, maka dia menjadi milik Rakso.
Tapi kalian harus menunggu. Kalau emas itu digunakan anak itu untuk membeli baju laki-laki, maka dia milik Rakso. Kalau dia membeli baju perempuan, dan berbaring di kuburan pada siang hari, maka dia milik Raksi.
Kalau anak itu belum jelas juga, kalian tidak boleh menyentuhnya. Karena belum bisa diputuskan, itu milik Raksa atau Raksi,” ujar Pak Hakim dengan tegas. Hanya itulah caranya untuk menghentikan pertengkaran kedua siluman.
“Itu cukup adil Pak Hakim,” kata kedua siluman itu puas.
Setelah berterimakasih pada Pak Hakim, mereka kembali ke pekuburan.
Perjalanan mereka cukup jauh. Ketika tiba di pekuburan, hari sudah malam lagi. Sementara itu, Dahrea juga sudah kembali ke pekuburan itu. Ia berusaha mendapat tumpangan di rumah warga desa, tetapi tak ada yang mau menerimanya.
Saat Dahrea terbaring tidur, kedua siluman itu mendekatinya. Mereka masing-masing meletakkan sebongkah emas di samping kepala Dahrea. Mereka lalu sembunyi, menunggu di balik dahan pohon.
Ketika pagi tiba, embun-embun mulai turun, Dahrea terbangun dan menguap. Ooh, ia sangat terkejut melihat melihat dua bongkah emas di dekat kepalanya. Ia segera mengambil kedua bongkah emas itu dan berlari ke desa.
“Itu bukan berarti dia milikmu! Kita harus menunggu untuk tahu, apakah dia lelaki atau perempuan,” kata Raksi.
“Pak Hakim memang adil. Tapi kamu akan lihat, anak itu pasti beli baju lelaki, dan dia akan jadi milikku.”
Dahrea memang laki laki dan dia membeli baju lelaki. Namun Dahrea kini bukan anak miskin lagi. Dari hasil penjualan dua bongkah emas itu, kini ia menjadi anak yang kaya. Warga desa kini mau menerimanya. Ia diantar ke rumah seorang guru agar bisa belajar sains.
Dahrea akhirnya tumbuh menjadi pria yang pintar dan bijak. Ia bisa memberli rumah, sawah, dan menjadi kebanggaan warga desa. Ia juga kini memiliki istri dan dua anak yang bahagia.
Dahrea tak pernah tidur di pekuburan lagi. Suatu ketika, ia datang ke pekuburan itu dan melhiat tempat itu. Ia bahagia karena hidupnya sekarang berbeda.
Sementara, Raksa dan Raksi entah berada dimana. Mereka terlalu lama bertengkar soal Dahrea. Mereka bosan dan akhirnya pergi dari desa itu.
(Dok. Majalah Bobo / Folklore)