Braaak! Luna membuka pintu kamar adiknya lebar-lebar. “Ota, kamu lihat ...”
Luna tertegun. Adiknya menunduk di depan meja belajar. Matanya sampai hampir menempel permukaan meja.
“Ngapain, sih?” tanya Luna penasaran.
Sedetik kemudian, Luna terbahak-bahak. “Ya ampuuun, hari gini koleksi prangko? Di mana-mana orang email-email-an, sms-an, eh, kamu malah koleksi prangko,” ledeknya.
Ota cuek, tetap asyik menjepit prangko-prangko dengan pinset dan memasukkannya ke dalam album.
“Lihat dong, Kak, koleksi prangkoku. Kita bisa keliling dunia lewat prangko!” Ota menunjukkan album prangkonya pada Luna.
Diam-diam Luna kagum. Ada seri keajaiban dunia, rumah adat, cerita rakyat, dengan gambar bagus-bagus. Namun, gengsi dong, memuji Ota.
Bisa selangit ge-ernya!
“Setahuku sih, yang mengoleksi prangko cuma orang-orang zaman dulu,” komentar Luna sambil mencibir.
Tahu-tahu, suatu pagi Ota uring-uringan. “Menara Eiffelku hilang,” keluhnya. “Padahal itu kiriman Rembrant, sahabat penaku dari Prancis.”
“Hihi... sahabat pena?” Luna terkikik geli.
“Kok ketawa? Jangan-jangan Kakak yang mengambil,” tuduh Ota.