“Jadi, Gita Gutawa oke?” tanya Kiria sambil sibuk mencatat.
“Gita bahkan mau menyumbang satu lagu tambahan, gratis.”
“Good job!” puji Kiria. “Tapi, aku bingung! Kita punya drama. Enaknya, mana dulu yang tampil, Gita atau drama?”
“Drama, dong! Kalau Gita dulu, siapa yang nonton drama kita?” jawab Sania, sang sutradara.
“Atau, Gita dua lagu, drama, lalu Gita lagi tiga lagu!”
SD Delikara akan menggelar pentas seni akhir tahun. Kali ini Kiria dan Luna tergabung dalam seksi acara. Mereka minta tolong Taras untuk membantu menjadi fotografer. Kebetulan Taras ikut klub fotografi di sekolahnya. Ada fotografer gratisan, lumayan kan, bisa dimanfaatkan.
Ketika sore itu seksi acara sibuk berdebat, Taras asyik memotret ekspresi mereka. Ada Kiria yang memonyongkan bibir, Sania yang mendelik, sampai Luna yang garuk-garuk kepala. “Jangan-jangan, Luna kutuan? Hihi...”
Hari puncak tiba. Panitia sibuk mondar-mandir mengecek kesiapan pengisi acara. Para pengisi acara juga sibuk dengan aneka dandanan mereka. “Cek! Cek! Penerima tamu siap?” tanya Luna lewat walkie-talkie.
“Chandra cs. oke!” sahut suara dari seberang. Setelah memastikan semua beres, Luna bergabung dengan Sania di belakang panggung. Ditemukannya wajah Sania yang pucat pasi.
“Phrisia tiba-tiba sakit perut, enggak bisa main.” Ups, gawat! “Cadangannya?”
“Ada Cindy, sih! Tapi, dia belum hafal semua dialog.”
Sementara itu, Cindy mulai bersiap-siap dengan kostumnya. Naskah di tangannya terlihat kumal karena terlalu sering dibuka. “Aku gugup,” bisiknya.