Bobo.id - Hai teman-teman, pasti sudah tidak sabar menunggu dongeng anak hari ini, ya?
Dongeng anak hari ini berjudul Seorang Nenek dengan Sarang Semut di Kakinya.
Yuk, langsung saja kita baca dongeng anak hari ini!
---------------------------------------------
Baca Juga: Dongeng Anak: Kisah Tulo dan Tulio
Jangan Didi! Kembalikan! Itu kalung pemberian ibuku", suaraku serak karena menahan tangis. Didi, Har,i dan Ano tertawa terbahak-bahak. Senang sekali melihatku kebingungan.
"Nanti pasti kami kembalikan, Mita. Yah, barangkali kami ingin bermain lempar-lemparan kalung dulu di sungai," kata Ano tenang. Mereka kembali tertawa terpingkal. Oh, aku panik sekali. Ibu pasti marah kalau kalung mahal hadiah darinya hanyut di sungai.
Baca Juga: Dongeng Anak: Pangeran Bertopeng
"Beraninya hanya dengan anak perempuan. Awas kalau..?'
"Hoaak...ak...ak...huk!"
Suara batuk itu membuat katakataku terhenti. Jantungku terasa berhenti berdetak karena kaget. Keringat dingin mulai membasahi telapak tanganku. Karena sibuk melarikan kalungku, mereka tak sadar telah memilih jalan ke arah gubuk Nenek Rat. Melihat pucatnya wajah Didi, Hari, dan Ano kurasa mereka tak kalah cemasnya dengan aku.
Baca Juga: Ada yang Menggerakkan Tubuhnya saat Tidur, Apakah Hewan Juga Bermimpi? #AkuBacaAkuTahu
"Kalian dengar?" bisik Hari dengan suara hampir tercekik, "Si Pemakan Anak itu barangkali mendengar suara kita..." Kami memandang dengan takut gubuk bambu yang terlindung dibalik semak. Sejenak aku merasa senang karena aku tidak merasa melakukan hal yang salah. Tapi kata-kata Didi membuat kelegaanku tak bertahan lama.
"Dia jahat sekali! Nenek tua itu akan menginjak kita dengan kakinya yang besar. Lalu kita dijadikan gulai. Kau tahu, kakinya itu adalah sarang semut."
"Jangan main-main kau, Didi!" tukas Ano sengit. Aku menelan ludah dengan susah payah. Perutku geli dan mual membayangkan sarang semut di kaki nenek Rat.
Baca Juga: Ada Penguin yang Tinggal di Hutan Hujan, lo! Tawaki Namanya!
"Ayo pulang," ajakku lirih, "barangkali benar, kalau kita terlalu lama di sini, Nenek Rat akan membuat gulai sayur Didi", kataku mencoba melucu.
"Mita benar, kita memang harus . pulang" ujar Ano. Aku menarik napas lega diam-diam.
"Benar, Ano! Sekarang kembalikan kalungku. Lalu kita akan pulang ke rumah masing-masing", kataku sambil mengulurkan tangan.
Didi dan Hah terkekeh geli, "Hanya kami yang pulang. Kau tetap disini!" Aku terperanjat, "Apa maksudmu?" tukasku sengit.
Baca Juga: Luka yang Terjadi di Siang Hari Lebih Cepat Sembuh, Apakah Benar Begitu?
"Maksudku, kalau kau ingin kalungmu kembali, buktikan dulu kau berani masuk ke gubuk Si Pemakan Anak itu!" seringai Didi sambil menggoyangkan kalung berbandul huruf M itu.
Aku menggeretakkan gigi kesal. Tadinya aku ingin menangis keraskeras. Tapi kurasa itu akan semakin membuat mereka merasa menang. Karena itu aku menarik napas dengan tenang dan berkata, "Baiklah." Kemudian kulangkahkan kakiku perlahan ke arah gubuk Nenek Rat. Sambil terus berdoa dan memejamkan mata. Semakin dekat dengan pintu gubuk, perutku semakin mual membayangkan sarang semut di kaki Nenek Rat.
Baca Juga: Saat Sakit Kepala, Apakah Bagian yang Sakit Itu Otak Kita? #AkuBacaAkuTahu
Duk! Duk! Duk! Kuketuk pintunya dengan hati berdebar.
"SIAPA KAU?" bentak Nenek Rat begitu pintu terbuka dengan suara keras. Di tangannya tergenggam sebuah pisau daging yang sangat besar. Kudengar Didi, Hah, dan Ano berteriak ketakutan dan lari terbiritbirit meninggalkan kami.
"Ehm, ss... saya.... Mita," jawabku tergagap. Nenek Rat memicingkan sebelah matanya sambil mencibir. Aku memandangnya takut-takut, "Saya dengar Nenek tadi batuk-batuk. Saya pikir, Nenek tentu perlu bantuan. Saya selalu membawa obat-obatan di tas." Kuraba dasar tas sekolahku. Aku sedikit lega karena kantung obat yang selalu kubawa tidak tertinggal di meja belajarku.
Baca Juga: Adanya Mutasi Menjadi Penyebab Ayam Cemani Berwarna Hitam Seluruhnya
"Betul begitu?" tanya Nenek Rat ragu. Aku menganguk memastikan. "Masuklah, Nak!" ujamya pelan. Aku menahan senyum. Sungguh baru kali ini aku merasa bersyukur karena memiliki Ayah seorang dokter. Ayah setiap hari memaksaku membawa obat-obatan untuk pertolongan pertama.
'Tadinya kukira kau seperti anakanak lain yang sering mengganggu dan melempari rumahku. Ternyata tidak," katanya lirih. Aku tersenyum iba mendengarnya. Mataku menyapu ruangan dingin dan lembab. Perabotnya hanya sebuah meja reot dan dipan bambu usang.
"Nenek sendihan?" tanyaku bodoh, karena sesungguhnya aku tahu kalau dia hidup sendiri di gubuk reot ini. Tapi Nenek Rat menganggukjuga mengiyakan. Kulirik kakinya yang besar. Tapi tidak berlubang dan menjadi sarang semut seperti yang kubayangkan.
Baca Juga: Mengapa Kita Merinding Saat Mendengar Suara Nyanyian yang Indah?
"Kata teman-teman, kaki Nenek Rat menjadi sarang semut," kataku takut-takut. Nenek Rat tertawa. Aku menatapnya bingung.
"Nenek tak pernah punya sarang semut di kaki. Lihat ini!" ujamya sambil mengangkat sebelah kakinya ke arahku. 'Tapi Nenek sendiri heran, kenapa semut suka sekali dekat-dekat di tubuh Nenek.
Pakaian-pakaian kotor selalu dirubung semut," katanya sambil menggelengkan kepala bingung.
Baca Juga: Di Trailer Terbaru Frozen 2, Elsa dan Anna Mencari Hutan Ajaib, Lihat, yuk!
"Barangkali Nenek sakit gula", jawabku. Tiba-tiba aku mendapat akal. "Nek, bagaimana kalau Nenek Rat ke rumah Mita hari ini. Agak jauh, memang. Di ujung desa. Tapi Ayah Mita seorang dokter. Ayah pasti tahu apa yang bisa dilakukan untuk Nenek!" Kuraih tangan besar, dekil, dan keriput itu sambil tersenyum. "Khusus Nenek Rat, gratis!" bisikku sambil mengedipkan mata.
"Sekarang juga?" seru Nenek Rat senang. Aku mengangguk. Bangga juga membayangkan ketakutan telah kukalahkan. Dan tentunya Didi, Hari, dan Ano akan mengembalikan kalungku sambil tertunduk malu.
Cerita oleh: Yuniar Khairani. Ilustrasi: Dok. Majalah Bobo
Baca Juga: Water Bombing dan Hujan Buatan, Dua Metode untuk Memadamkan Kebakaran Hutan
Tonton video ini, yuk!
15 Dampak Positif Globalisasi bagi Kesenian Daerah, Materi Kelas 6 SD Kurikulum Merdeka
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR