Bobo.id - Hai teman-teman, pasti sudah tidak sabar menunggu cerpen anak hari ini, ya?
Cerpen anak hari ini berjudul Pengarang Kecil yang Kecewa.
Yuk, langsung saja kita baca cerpen anak hari ini!
--------------------------------------------------------------------
Baca Juga: Cerpen Anak: Nyatakan Keinginanmu, Yuli (Bagian 1)
Biasanya anak-anak tidak suka jam pelajaran terakhir. Apalagi bila udara panas, perut mulai lapar, mata mengantuk, dan guru mengajar dengan membosankan ataupun marah-marah. Lengkaplah penderitaan murid, menurut istilah si Bambang.
Tapi hari ini tidak begitu. Jam pelajaran terakhir adalah Bahasa Indonesia. Pak Awang pandai menghidupkan suasana sehingga anak-anak bersemangat. Lagi pula jadwal hari ini: Mengarang. Dua minggu yang lalu anak-anak sudah menulis karangan bebas. Dan hari ini Pak Awang akan mengumumkan lima karya terbaik, lengkap dengan hadiahnya.
Baca Juga: Cerpen Anak: Nyatakan Keinginanmu, Yuli (Bagian 2)
"Hadiah ini tidak mahal harganya. Tapi dimaksudkan untuk merangsang kalian supaya gemar menulis. Ketrampilan menulis itu sangat perlu. Bila kelak kalian bekerja di perusahaan, kalian juga perlu trampil menulis laporan. Bila kalian jadi ilmuwan, kalian juga perlu ketrampilan menulis. Dan kalau kalian suka, siapa tahu kalian kelak jadi penulis ternama!" Demikian pernah dikatakan Pak Awang.
"Hebat ya, Pak Awang. Bermodal untuk memberikan hadiah pada kita," komentar Santi.
Baca Juga: Terlihat Sangat Mirip, Ini Bedanya Ikan Cupang Jantan dan Betina
Waktu istirahat kedua, anak-anak mempercakapkan soal pengumuman lima karya terbaik.
"Paling-paling Lala yang dapat!" kata Santi.
"Belum tentu. Kata Pak Awang banyak anak di kelas kita yang semakin pintar menulis!" kata Lala. Padahal, dalam hati Lala yakin bahwa ia akan tampil sebagai salah satu pemenang. Bukankah ia pernah menjadi juara pertama waktu sekolah mengadakan lomba mengarang dengan judul "Tanah Airku"? Lagi pula, karya Lala sudah dua kali dimuat di majalah anak-anak.
Begitulah, jam pelajaran terakhir tiba. Lima karya terbaik diperoleh.
Ganti dengan judul "Ketika Aku Berkunjung ke Panti Werdha"
Reno dengan judul "Membuat Sumur Resapan di Halaman Rumah"
Baca Juga: Jalan Cepat Ada Kejuaraannya, Seperti Apa Olahraganya?
Keke dengan judul "Senyum Tulus Anak Gelandangan"
Mirah dengan judul "Laut yang Penuh Rahasia"
Gunawan dengan judul "Aku Pedagang Cilik"
Lusi yang duduk di dekat Lala berbisik, "Karyamu tidak masuk, mungkin terselip."
Lala masih bingung. Rasanya seperti tak percaya. Namanya tidak disebut. Ketika itulah sebuah penggaris mendarat ringan di bahunya dan terdengar suara Kristin di belakangnya, "Tanyakan pada Pak Awang, La!"
Para pemenang mendapat hadiah dan membacakan karya masing-masing. Pak Awang memberikan komentar dan pujian. Namun, Lala sudah tidak bisa berkonsentrasi. Hatinya diliputi kekecewaan.
Padahal karya kawan-kawannya itu sangat menarik. Gunawan menceritakan bagaimana ia berjualan stiker, Santi mengupas tentang nenek tua yang kesepian di Panti Werdha dan akhirnya Santi memutuskan untuk menjenguknya dua minggu sekali walaupun nenek itu bukan nenek kandungnya. Keke menceritakan bagaimana dompetnya jatuh dan anak gelandangan mengembalikannya. Mirah bercerita tentang kekayaan laut dan Reno menganjurkan anak-anak membuat sumur resapan secara sederhana.
Baca Juga: Atasi Diare sampai Cegah Diabetes, Inilah 5 Manfaat Daun Jambu Biji
Ketika bel pulang berbunyi dan anak-anak berhamburan pulang, Lala menemui Pak Awang dan menanyakan mengapa karangannya tidak termasuk dalam lima karya terbaik.
"Karanganmu bagus, Lala, tapi Bapak hams memilih lima karya. Dan topik yang kamu angkat tentang ibu sakit sudah sering ditulis. Bukan tidak boleh, tapi harus ada sesuatu yang lain tentang ibu sakit yang menarik hati pembaca. Bukan hanya sekedar kamu merawat dan membelikan bunga," demikian kata Pak Awang.
"Apakah saya tidak berbakat mengarang, Pak? Sebenarnya saya ingin jadi pengarang!" tanya Lala.
"Bakat hanya 10 persen, Lala. Yang 90 persen adalah usaha dan kerja keras. Untuk menjadi pengarang perlu banyak membaca, mengamati, belajardari karya orang lain, belajar ketrampilan, dan terus berlatih. Semua butuh waktu, perlu proses. Teruslah berusaha, Bapak yakin kamu akan berhasil," Pak Awang memberi semangat.
Lala mengucapkan terima kasih. la pulang ke rumah dan mendapati sebuah amplop besar dari majalah anakanak. Lala membukanya dan mendapati empat buah karangannya ditolak, tak bisa dimuat di majalah.
Lengkaplah sudah kekecewaan Lala.
Baca Juga: Sepeda Ini Sengaja Tidak Diberi Pedal, Mengapa Begitu, ya?
"Aku memang tidak berhasil. Untuk apa susah payah mengarang?" pikir Lala. Dan ia memutuskan untuk berhenti mengisi buku harian.
Lima hari sudah berlalu. Lala tidak menulis karangan, bahkan ia tidak mengisi buku hariannya. Lala patah semangat untuk menjadi pengarang.
Sore itu Ibu mengajaknya ke rumah sakit untuk menengok Tante Yani yang sakit. Lala mau saja.
"Tumben, biasanya kamu sibuk membaca dan menulis. Pengarang kita lagi jenuh, ya!" goda Ibu.
"Ganti acara, Bu. Tante Yani kan baik sama Lala. Masa dia dirawat di rumah sakit, Lala tidak jenguk!'1 kilah Lala.
Di rumah sakit cukup ramai pengunjung. Seorang wanita tua yang duduk di kursi roda sedang mendoakan pasien di sebelah tempat tidur Tante Yani. Setelah selesai dan memberikan kata-kata penghiburan ia mengayuh kursi rodanya dan mendekati Tante Yani.
"Selamat sore, boleh saya doakan?" tanyanya dengan ramah.
Tante Yani mempersilakan. Setelah selesai berdoa, Tante Yani berkata, "Ibu ini juga dirawat di rumah sakit. Ibu jari kakinya dipotong karena sakit diabetes, feetiap hari ia berkeliling dari kamar ke kamar untuk menghibur dan mendoakan pasien-pasien lain.
Baca Juga: Kadar Gula Darah Bisa Diperiksa Tanpa Cek Darah dengan Alat Buatan Kak Celestine Wenardy
"Yah, saya bersyukur masih diberi kesempatan oleh Tuhan untuk melayani orang-orang lain," kata ibu tua itu. "Saya jadi lupa akan penyakit saya kalau sedang berkeliling!"
"Ibu ini juga seorang pengarang. La suka menulis di majalah wanita," Tante Yani menjelaskan.
"Anak saya Lala juga ingin jadi pengarang. Sudah dua kali karyanya dimuat di majalah anakanak!" tahu-tahu Ibu sudah memberi tahu.
Lala tersipu-sipu.
"Saya tak mau lagi jadi pengarang. Rasanya sulit dan saya tidak berbakat!" kata Lala. "Empat karangan saya ditolak oleh majalah. Dan di kelas karangan saya tidak termasuk dafam lima karya terbaik."
Ibu tua itu tersenyum.
"Bakat itu hanya 10 persen, yang 90 persen adalah usaha. Soal ditolak, penulis ternama pun mengalami. Dan mengarang bukanlah soal bersaing di kelas. Kita mengarang karena kita senang mengarang, karena ada sesuatu yang baik yang ingin kita sampaikan. Kita berusaha sebaik-baiknya. Soal berhasil atau tidak itu bukan urusan kita lagi. Dan kita perlu setia, tahun demi tahun terus belajar dan menulis. Dalam melakukannya kita memperoleh kepuasan batin dan karya kita boleh berguna bagi para pembaca," ibu tua itu menjelaskan.
Lala terpesona. la mendengarkan dengan penuh perhatian dan kata-kata itu seolah terus bergema.
"Nah, Lala, teruslah menulis, jangan kecewa, lalu mundur!" pesan ibu tua itu. Kemudian ia pamit dan pergi melayani pasien lain.
Baca Juga: Pernah Sakit Leher Saat Bangun Tidur? Cari Tahu Sebabnya, yuk!
Sepanjang perjalanan pulang kata-kata Ibu tua itu terus berkumandang di telinga Lala dan ia mendapat semangat baru. la tak perlu kecewa dan merasa gagal karena karyanya tidak terpilih dalam lima karya terbaik di kelas. Mengarang bukan soal bersaing, tapi ingin menyampaikan sesuatu yang baik.
Malam itu Lala kembali menulis di buku hariannya. La mencatat perjumpaannya dengan ibu tua di rumah sakit. Bahkan ia menuliskan bagaimana ibu tua yang berada di kursi roda masih mau menolong orang lain. Hati Lala tersentuh. la merasa ia sendiri kurang menolong orang lain. Selama ini ia suka malas bila diajak Ibu menjenguk orang sakit. Dan justru di rumah sakit ia mendapatkan pengalaman yang berharga.
Cerita oleh: Widya Suwarna
Tonton video ini, yuk!
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR