Ketika Pande Gelang akan meninggalkan tempat itu, sang putri mencegah langkahnya.
“Tunggu, jangan pergi dulu Ki!” cegah Putri Arum. “Baiklah, Ki. Saya akan bercerita, tetapi sekadar untuk mengilangkan rasa penasaran Ki Pande. Selama ini saya tidak pernah menceritakan masalah ini kepada orang lain karena hanya akan sia-sia belaka,” kata sang putri.
“Mengapa Tuan Putri berkata demikian?” tanya Pande Gelang.
“Masalah yang saya hadapi saat ini sangat berat Ki,” ungkap sang putri.
Putri Arum kemudian bercerita bahwa dirinya sedang mendapat tekanan dari Pangeran Cunihin.
“Saya sangat sedih Ki, karena Pangeran Cunihin memaksa saya untuk menjadi istrinya. Meskipun ia tampan, tetapi saya tidak menyukai wataknya yang bengis dan kejam. Namun, saya tidak berdaya untuk menghadapinya karena ia sangat berkuasa dan sakti mandraguna,” ungkap Putri Arum.
Sejenak Pande Gelang tertegun. Hatinya sangat geram mendengar sikap dan perilaku Pangeran Cunihin yang semakin menjadi-jadi.
Ia tidak sabar lagi ingin menghajar pangeran bengis itu. Meski demikian, ia tetap berusaha menyembunyikan amarah dan mencoba untuk menenangkan hati kekasihnya itu.
“Hamba turut bersedih, Tuan Putri,” ucap Pande Gelang berlinang air mata.
“Terima kasih Ki atas keprihatinannya. Tadinya saya mengira wangsit yang saya terima benar adanya,” ungkap Putri Arum.
“Maaf, Tuan Putri. Wangsit apa yang Tuan Putri maksud?” tanya Pande Gelang.
Source | : | Histori.id |
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR