Bobo.id - Teman-teman sudah tahu manfaat mendongeng, kan? Mendongeng bisa membuat kita menjadi cerdas.
Nah, hari ini ada dongeng anak yang berjudul Teman yang Terlalu Besar.
Jangan lupa untuk membaca dongeng atau minta orang tuamu untuk mendongeng untukmu, ya!
-----------------------------
Popoci adalah anak kuda nil yang masih kecil. Di antara kuda nil dewasa, tubuhnya tampak sangat kecil.
Namun, saat berada di antara anak-anak hewan kecil lainnya, tubuh Popoci tampak sangat besar. Kuda nil kecil adalah hewan yang sangat sangat besar, lebih besar dari hewan kecil lainnya.
Suatu hari, Popoci melihat tiga anak macan kecil. Mereka sedang membuat jalan setapak rahasia di antara ilalang tinggi. Jika dilihat dari atas, jalan itu tertutup ilalang tinggi yang melengkung.
Popoci ingin ikut bermain di jalan rahasia. Namun Cacan di anak macan berkata,
“Kamu terlalu besar untuk ikut main bersama kami. Kalau kamu ikut, jalannya jadi terlalu besar dan terbuka. Tidak bisa disebut jalan rahasia lagi, kan?”
Baca Juga: 6 Jenis Buah dan Sayuran yang Bisa Kita Tanam dengan Cara Hidroponik, Stroberi Hingga Selada
Popoci pergi dengan sedih. Ia lalu bertemu tiga ekor jerapah kecil yang sedang bermain petak umpet. Mereka bisa sembunyi di belakang pohon besar karena tubuh mereka kurus. Popoci ingin bermain dengan mereka. Namun para jerapah berkata,
“Kamu terlalu besar untuk main bersama kami! Kamu tidak bisa sembunyi di belakang pohon,” kata mereka. “Kamu akan tetap kelihatan dilihat dari sisi manapun.”
Popoci kini melihat monyet-monyet kecil yang lucu berayun gembira di dahan pohon. Saat Popoci berjalan mendekat, mereka tertawa.
“Kamu terlalu terlalu besar untuk ikut bermain di dahan pohon! Bisa patah!” kata mereka. Padahal, Popoci bahkan belum berkata halo pada mereka.
Popoci sangat sedih. “Tak ada permainan yang bisa aku ikuti,” keluhnya sedih.
Ia berjalan pelan kembali ke kubangannya. Setelah cukup lama melamun, ia lalu keluar dari kubangan dan berjalan sendirian. Tanpa terasa, Popoci sudah tiba di sebuah danau kecil di hutan itu. Danau itu biasanya dipakai para hewan kecil berendam di hari panas.
Ketika ingin masuk ke danau kecil itu, Popoci terkejut. Ternyata hewan-hewan kecil tadi semua sudah berada di dalam danau kecil. Mereka kepanasan setelah lelah bermain dan ingin berendam.
“Kami tidak bisa berenang,” kata anak monyet kecil.
“Hujan sudah lama tidak turun. Air danau kering dan sangat dangkal,” kata anak macan kecil.
Ketika kuda nil kecil mendengarnya, ia berhenti sedih dan tersenyum. Dia masuk ke tepi danau yang airnya dangkal. Ketika ia lakukan itu, tubuhnya yang gemuk mengisi banyak ruangan. Sehingga airnya naik lagi, dan naik lagi sampai ke tepi danau. Popoci tersenyum girang.
“Lihat!” katanya, “Sekarang kalian bisa masuk.”
“Waah iya kita bisa masuk,” kata hewan lainnya dan mereka masuk.
Tak lama kemudian, mereka bermain bermacam-macam permainan air dengan riang. Mereka naik ke punggung Popoci dan merosot turun ke dalam air. BYUR BYUR!
Mereka juga melompat lompat di punggung Popoci yang kokoh. Popoci tersenyum senang karena punggungnya terasa dipijat-pijat. Mereka juga berlomba berdiri dengan satu kaki di punggung Popoci.
Hari itu begitu menggembirakan sampai senja rasanya datang terlalu cepat. Mereka semua berterimakasih pada Popoci dan pulang dengan hati senang.
Di waktu berikutnya, ketika Popoci datang untuk ikut bermain, mereka tidak lagi berkata, “Kamu terlalu besar untuk bermain dengan kami.”
Namun mereka dengan cepat akan mengganti permainan yang cocok agar Popoci bisa ikut bermain. Itu karena Popoci tetap baik pada mereka walau mereka sempat menolak Popoci.
Cerita oleh: Dok Majalah Bobo. Ilustrasi: Larasputri
#MendongenguntukCerdas
-----
Teman-teman, kalau ingin tahu lebih banyak tentang sains, dongeng fantasi, cerita misteri, dunia satwa, dan komik yang kocak, langsung saja berlangganan majalah Bobo, Mombi SD, NG Kids dan Album Donal Bebek. Caranya melalui: www.gridstore.id
Atau teman-teman bisa baca versi elektronik (e-Magz) yang dapat diakses secara online di ebooks.gramedia.com
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR