Bobo.id – Dalam program Belajar dari Rumah tanggal 15 Juli 2020, materi untuk SD kelas 4 – 6 bertema Budaya Jawa Tengah.
Tayangan bertema Budaya Jawa Tengah dalam program Belajar dari Rumah kali ini menceritakan tentan asal-usul kota Magelang dan lagu daerah Jawa Tengah, yaitu lagu Cublak-Cublak Suweng dan Lir-Ilir.
Yuk, kita cari tahu rangkuman dan soal tayangan Budaya Jawa Tengah untuk SD kelas 4 – 6!
Asal Usul Kota Magelang: Bagaimana Proses Terbentuknya Nama Kota Magelang?
Siapa yang pernah mengunjungi Candi Borobudur? Candi Borobudur terletak di Magelang, Jawa Tengah.
Dalam tayangan Belajar dari Rumah, kita diminta menceritakan proses terbentuknya nama kota Magelang. Teman-teman bisa membuat kesimpulan dari kisah berikut ini.
Cari tahu bagaimana terbentuknya nama kota Magelang, yuk!
Ketika Sultan Hadiwijaya dari Kesultanan Pajang wafat, anak angkatnya, Raden Sutawijaya, menggantikan beliau.
Di bawah kepemimpinan Raden Sutawijaya, pusat kepemimpinan dipindahkan dari Pajang ke Mataram. Saat itu, Raden Sutawijaya bergelar Panembahan Senopati ing Alaga Sayidin Panatagama.
Setelah wilayah Mataram maju, Panembahan Senopati mulai memperluas wilayah kekuasaannya.
Beliau menugaskan putranya, Raden Purbaya, untuk membuka Hutan Kedu sebagai wilayah perkampungan. Berbekal pusaka Tombak Kyai Pleret dari ayahnya, Raden Purbaya pun menunaikan tugas itu.
Panembahan Senopati berpesan pada Raden Purbaya, bahwa di hutan itu ada jin yang sakti.
Sesampainya di hutan, pasukan yang dipimpin oleh Raden Purbaya bertemu Jin Sepanjang.
Setelah mengetahui tujuan pasukan Raden Purbaya, Jin Sepanjang merasa terusik. Ia menyebut akan menghalangi pasukan Raden Wijaya membuka wilayah Hutan Kedu.
Baca Juga: Ternyata Begini Asal Nama Kota Solo yang Ada di Tayangan Cerita Sabtu Pagi, Anak Seribu Pulau: Solo
Namun, Raden Purbaya tetap kukuh melaksanakan titah dari ayahnya. Akhirnya, Raden Wijaya dan Jin Sepanjang bertarung, begitupun pasukan keduanya.
Raja Jin pun terdesak dan bersumpah akan membalas Raden Wijaya. Ia juga meninggalkan pasukannya jinnya.
Setelahnya, pasukan Raden Purbaya mulai membuka hutan, dan tidak lama setelahnya penduduk Kesultanan Mataram banyak yang berpindah tempat tinggal. Akhirnya, bagian dari Hutan Kedu itu menjadi sebuah desa.
Di antaranya, ada warga yang bernama Kyai Kramat, Nyai Bogem, dan anaknya yang melangsungkan pesta pernikahan, yaitu Roro Rambat.
Raja Jin yang melihat pesta itu mendapatkan ide untuk membalas dendam dan mengubah dirinya menjadi sosok manusia bernama Sonta. Ia mengaku sebagai pengelana dan bekerja di rumah Kyai Kramat.
Namun, saat malam hari tiba, Sonta alias Raja Jin meniupkan asap putih ke seluruh desa. Akibatnya, sebagian penduduk dan perwira Mataram jatuh sakit dan meninggal dunia.
Raden Purbaya pun segera memeriksa kondisi itu dan melaporkannya pada ayahnya, Panembahan Senopati.
Setelah bersemedi, Panembahan Senopati memberi tahu anaknya bahwa wabah di desa itu adalah perbuatan Raja Jin yang menyamar.
Sekembalinya ke desa di Hutan Kedu, pembicaraan antara Raden Purbaya dengan Kyai Kramat didengar oleh Sonta, sehingga ia kabur. Kyai Kramat pun mengejarnya dan pertarungan tidak terelakkan.
Dalam pertarungan itu, Kyai Kramat wafat. Istrinya pun memburu Raja Jin dan bertarung melawannya. Sayangnya, Nyai Bogem juga wafat dalam pertempuran itu.
Baca Juga: Disebabkan oleh 3 Kesalahan, Begini Asal-usul Nama Kota Salatiga #MendongenguntukCerdas
Raden Purbaya kemudian memanggil Tumenggung Mertoyudo untuk melacak keberadaan Raja Jin. Tak lama, Tumenggung menemukan Raja Jin namun karena ketahuan akhirnya dia dikalahkan juga.
Desa tempat Kyai Kramat, Nyai Bogem, dan Tumenggung dimakamkan kemudian dikenal dengan nama Desa Kramat, Desa Bogeman, dan Desa Mertoyudo.
Raden Purbaya pun mencari cara agar bisa menjebak Raja Jin. Prajurit Mataram berjaga dengan cara melingkar seperti gelang untuk mengepung hutan tempat Raja Jin bersembunyi.
Akhirnya, Raja Jin tidak bisa kabur dan harus melawan Raden Purbaya dan senjata tombak Kyai Pleret. Kali ini Raja Jin pun berhasil dikalahkan.
Keberhasilan Raden Purbaya menggunakan strategi gelang pun kelak membuat keseluruhan wilayah itu disebut Magelang.
Lagu Daerah Jawa Tengah: Lagu dan Permainan Cublak-Cublak Suweng
Berikutnya, ada lagu daerah yang dinyanyikan dalam permaianan, yakni Cublak-Cublak Suweng.
Dalam tayangan Belajar dari Rumah memberikan soal untuk menuliskan permainan yang dimainkan dengan lagu Cublak-Cublak Suweng.
Lagu Cublak-Cublak Suweng merupakan salah satu lagu yang diciptakan oleh Sunan Giri untuk anak-anak di sekitar masjid. Saat Wali Songo menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa.
Lagu ini juga biasa disebut sebagai lagu dolanan atau lagi permainan.
Cublak-Cublak Suweng sendiri memiliki arti kotak perhiasan wanita Jawa.
Permainan cublak-cublak suweng ini sedikitnya dimainkan tiga orang. Tapi lebih banyak orangnya lebih seru.
Satu orang membungkuk dan tidak melihat orang lain yang duduk melingkarinya. Orang yang melingkari ini meletakkan telapak tengan dengan posisi menengadah, di punggung orang yang membungkuk.
Kemudian, mereka menyanyikan lagu Cublak-Cublak Suweng sambil memindah-mindahkan benda seperti biji tanaman atau yang lainnya, ke telapak tangan satu sama lain secara bergiliran sampai lagu selesai.
Nantinya, orang yang membungkuk harus bisa menebak siapakah yang memegang biji atau benda yang diputarkan itu.
Baca Juga: Lirik dan Arti Lagu Bungong Jeumpa, Lagu Daerah dari Aceh
Lagu Daerah Jawa Tengah: Nasihat dalam Lagu Lir-Ilir
Ada juga lagu daerah Jawa Tengah yang berjudul Lir-Ilir.
Dalam tayangan Belajar dari Rumah, ada soal tentang nasihat yang terkandung dalam lagu Lir-Ilir. Cari tahu dari makna lagu dan kesimpulan di bawah, yuk!
Lagu ini juga diciptakan saat Wali Songo menyebarkan ajaran Islam di Pulau Jawa. Lagu Lir-Ilir diciptakan oleh Sunan Kalijaga.
Berbeda dengan lagu Cublak-Cublak Suweng yang dinyanyikan dengan ceria, lagu Lir-Ilir dinyanyikan dengan penghayatan.
Begini lirik lagu Lir-Ilir
Lir-ilir, lir-ilir (Bangunlah, bangunlah)
Tandure wis sumilir (Tanaman sudah bersemi)
Tak ijo royo-royo (Demikian menghijau)
Tak sengguh temanten anyar (Bagaikan pengantin baru)
Cah angon, cah angon (Anak gembala, anak gembala)
Penekno blimbing kuwi (Panjatlah pohon belimbing itu)
Lunyu-lunyu penekno (Biar licin dan susah tetaplah kau panjat)
Kanggo mbasuh dodotiro (untuk membasuh pakaianmu)
Dodotiro, dodotiro (Pakaianmu, pakaianmu)
Kumintir bedah ing pinggir (Terkoyak-koyak di bagian samping)
Dondomono, jlumatono (Jahitlah, benahilah)
Kanggo sebo mengko sore (Untuk menghadap nanti sore)
Mumpung Padhang rembulane (Mumpung bulan bersinar terang)
Mumpung jembar kalangane (Mumpung banyak waktu luang)
Yo sorako, sorak iyo! (Bersoraklah dengan sorakan Iya!)
Baca Juga: Mi Ongklok Khas Wonosobo yang Lezat, Apakah Kamu Sudah Pernah Coba?
Lagu Lir-Ilir merupakan lagu yang mengandung nilai Pendidikan agama.
Nasihat dalam lagu Lir-Ilir ini adalah bahwa sebagai umat manusia diharapkan bisa bangun dari kesedihan, menguatkan keyakinan, dan berjuang mendapatkan kebahagiaan.
Ada juga yang menyebut bagian awal lagu ini berarti tidak lagi malas, dan mendekatkan diri pada Tuhan.
Kemudian, anak gembala yang memanjat belimbing adalah penggambaran perintah ibadah sembahyang lima waktu dalam agama Islam, yang harus dilakukan sekuat tenaga, meski ada halangan.
Meskipun diibaratkan sebagai pakaian yang berlubang, seseorang diharapkan bisa memperbaiki dirinya untuk mendekatkan diri pada Tuhan.
Kemudian di akhir lagu ada pesan untuk melakukan hal di atas sebaik-baiknya, selagi masih diberi kesempatan dan kesehatan.
Itulah rangkuman materi Budaya Jawa Tengah Belajar dari Rumah di TVRI untuk SD kelas 4 - 6.
Baca Juga: Rangkuman dan Soal Belajar Berhitung, Materi Belajar dari Rumah TVRI SD Kelas 1 - 3
-----
Teman-teman, kalau ingin tahu lebih banyak tentang sains, dongeng fantasi, cerita misteri, dunia satwa, dan komik yang kocak, langsung saja berlangganan majalah Bobo, Mombi SD, NG Kids dan Album Donal Bebek. Caranya melalui: www.gridstore.id/
Atau teman-teman bisa baca versi elektronik (e-Magz) yang dapat diakses secara online di ebooks.gramedia.com
Penulis | : | Avisena Ashari |
Editor | : | Iveta Rahmalia |
KOMENTAR