Ayah Anom segera menyiapkan senapannya. Laki-laki itu mengintai sejenak, lalu door! Terdengarlah bunyi letusan dari moncong senapannya.
Anom terkejut! Tidak biasanya senapan Ayah mengeluarkan bunyi letusan seperti itu. Sekejab kemudian sesuatu tampak melayang di udara, diiringi suara rintih kesakitan.
Benarlah dugaan Anom! Ayah telah menembak induk kera itu. Tubuh kera betina itu bersimbah darah. la tergolek lemah di tanah. Namun, tangannya mendekap erat anaknya yang masih bayi.
"Oh, Ayah! Kenapa Ayah benar-benar menembaknya? Kenapa tidak dibius saja seperti biasanya?" teriak Anom marah.
Ayah Anom tampak gundah. la tak berani membalas tatapan mata anaknya. Kemudian, Ayah berucap dengan suara berbisik, "Oh, Tuhan. Tak kusangka akan begini jadinya."
"Huh! Seharusnya Ayah tahu kalau peluru itu bisa membunuh kera betina itu. Coba aku tahu maksud Ayah, tak 'kan kutunjukkan kera itu pada Ayah," tutur Anom kesal.
Ayah semakin menunduk sedih.
"Kali ini Ayah pasti bukan disuruh atasan Ayah, ya! Katakan, Ayah! Siapa sebenarnya yang menyuruh
Ayah berbuat sekeji ini?" tanya Anom ketus.
"Seorang saudagar kaya memesan jantung kera itu untuk obat istrinya yang sedang sakit," aku Ayah.
"Oh, begitu? Lalu, Ayah rela menembak induk kera itu demi sejumlah uang, begitu? Huh! Lupakah Ayah bahwa Ayah seorang petugas Dinas Kehutanan? Tidakkah Ayah takut ditangkap karena membunuh binatang? Tidakkah pula Ayah memikirkan kesedihan anak kera itu yang terpisah dari induknya?" ujar Anom berapi-api.
Baca Juga: Dongeng Peri: Tarian Peri Bintang
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR