Pagi-pagi, Bu Guru mengumumkan di depan kelas. Buku pelajaran kelas 5 untuk semester ini sudah bisa dibeli di koperasi sekolah. Kami dibagikan daftar harga buku untuk diberikan kepada orang tua. Puspita memerhatikan harga buku itu dengan teliti. Ia pun menghela nafas sambil berkata,”Huf… mahal-mahal sekali ya.”
“Iya Pus, sudah mahal, kita juga tidak bisa pinjam ke kakak kelas karena bukunya berbeda,” tiba-tiba Ibam ikut menimpali.
“Wah? Baru saja aku ingin pinjam kakak kelas saja,” jawab Puspita.
Sepanjang perjalanan sekolah, Puspita berpikir tentang harga buku yang begitu mahal. “Kasihan Bapak kalau harus belikan aku buku semahal ini,” gumamnya pelan. Kebingungan di wajah Puspita ternyata masih terlihat saat ia tiba di rumah.
“Lo, wajahmu kok, cemberut,” kata Ibu yang menyambut di depan pintu. Puspita hanya menggeleng. Namun Ibu tahu ada hal yang disembunyikan Puspita.
Saat makan siang, Ibu mencoba bertanya lagi pada Puspita.
“Harga bukunya mahal sekali, Bu, beda dengan semester lalu. Hmm… tidak bisa pinjam kakak kelas juga karena berbeda,” jawab Puspita.
Ibu memerhatikan daftar harga buku dan setuju dengan ucapan Puspita tadi. Buku-buku itu memang mahal sekali. Berbeda jauh dengan harga buku di tahun-tahun sebelumnya.
“Nanti kita tanya Bapak ya, Pus,” kata Ibu. Puspita mengangguk.
“Hmmm… bagaimana kalau kita lihat-lihat di toko buku, Pus. Mungkin ada buku yang lain,” ajak Bapak. Memang sekolah tidak melarang murid memakai buku yang berbeda asalkan materi yang dibahas sama. Namun, mungkin akan sedikit repot kalau ada pekerjaan rumah yang memerlukan buku.
Keesokan harinya, Puspita pergi ke koperasi sekolah untuk melihat buku kelas 5. Ia memerhatikan sampul buku dan materi yang dibahas pada isi buku. Puspita juga melihat nama penulis dan penerbitnya.
“Mau beli buku apa saja?” tanya petugas koperasi.
“Ah? Maaf Bu, saya cuma mau lihat-lihat dulu,” jawab Puspita.
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR