Saudaraku ada tujuh orang. Ditambah aku, Ayah, dan Ibu jumlahnyajadi sepuluh orang. Banyak, ya? lya, makanya suasana rumah kami selalu riuh rendah. Gelak tawa, rengek tangis, omelan, atau nyanyian, silih berganti. Suasana rumah tidak pernah lengang, kecuali bila Ayah di rumah.
"Titi, turunkan sikutmu dari meja!" perintah Ayah sewaktu makan bersama.
“Ya, Ayah," jawab Titi, kakakku dengan manis.
"Jangan bicara selagi makan, Oni!" tegur Ayah padaku.
"Baik, Ayah!" jawabku dengan patuh.
Itu sebagian aturan yang diberlakukan Ayah di meja makan. Aturan yang membuat suasana saat makan bersama terasa hikmat seperti saat upacara bendera di sekolah. Belum lagi aturan-aturan rumah lainnya. Duh, ampuuuunn, banyak sekali. Makanya, kalau Ayah di rumah, rumah jadi lengang.
Ayah punya seorang adik perempuan, kupanggil Tante Dita. Tante Dita tinggal di Semarang. Suasana rumah Tante Dita sangat berbeda dengan suasana rumahku. Soalnya, penghuni rumah Tante Dita tidak banyak. Anaknya cuma satu, sebaya denganku, namanya Tati.
"Sabtu ini ibumu mau ke Semarang, menengok Nenek di rumah Tante Dita. Kamu temani Ibu, mau?" tanya Ayah padaku, seusai makan malam. Aku terkesiap.
Adikku protes, "Kok Kak Oni boleh ke Semarang, aku tidak!"
"Kak Oni ulangannya bagus-bagus minggu ini, jadi dia dapat hadiah," jawab Ayah dengan tenang.
Adikku Eti cemberut.
"Kamu tidak mau, Oni?" tanya Ayah.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR