“Boleh...” Mak Yun setuju. Ia memberikan pot yang sudah diisi tanah padaku. Lalu aku melepas wadah plastik mawar.
“Auuuw...!” aku menjerit.
“Kamu pasti kena duri mawar!” seru Mak Yun.
“Mak, sih, enggak mengingatkan aku. Aku enggak jadi menanam mawar, ah!” ujarku. Mak Yun pun mengerjakannya sendiri. Ia duduk pada sebuah kursi kecil. Setelah selesai, ia berujar,
“Nadya, bantu Mak berdiri,” pinta Emak.
“Enggak mau! Tanganku sakit!” tukasku
“Wah, bisa-bisa Mak duduk di sini semalaman!” gerutu Mak Yun. Kedua tangannya bertumpu pada tanah. Ia mengangkat badannya. Aku tertawa. Ia tampak nungging. Mak Yun duduk lagi. “Lutut Mak sakit,” keluhnya.
“Tanganku juga sakit.” Kutunjukkan jari-jari yang tertusuk duri. Mak Yun berusaha lagi. Pantatnya terangkat. Ups, ia tetap tak sanggup berdiri. Buru-buru aku menyangga badannya.
“Yaaa... Berhasil!” ujar Mak Yun senang. Ia tersenyum padaku dan berkata, “Sebenarnya kamu anak baik. Sampai besar kau tetap anak baik, Nadya.”
Begitulah aku mengingatnya. Aku percaya kata-katanya, bahwa sampai besar, aku akan tetap menjadi anak baik.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR