Mak Yun sudah meninggal. Aku menulis cerita ini untuk mengenangnya. Mak Yun tinggal di seberang rumahku. Ia sering memanggil, bila melihatku bermain sendiri di halaman.
“Kenapa kamu bermain sendiri?” tanyanya.
“Aku tak punya teman,” jawabku.
“Teman-temanmu sedang bermain di rumah Tata, tuh,” ujar Mak Yun menunjuk sebuah rumah di seberang. Suara teriakan dan tawa anak-anak terdengar dari sana.
“Mereka tak mau mengajakku,” kataku.
Tata dan Arum ingin meminjam mainan masak-masakanku. Gara-gara kutolak, Tata dan Arum membisiki anak-anak yang lain. Semua anak jadi tak mau bermain denganku.
“Oohh…” Mak Yun mengangguk-angguk setelah kuceritakan masalahnya. “Lebih baik main sendiri daripada mainan kita dipinjam teman.”
“Tidak, sih!” tukasku. “Tata juga punya mainan. Tidak selengkap punyaku, sih. Tapi, kan, kalau bermain masak-masakan bersama, pakai mainan Tata juga sudah cukup.”
“Oohh…, kau mau bermain asal tidak menggunakan mainanmu.”
“Mak Yun gimana, sih!” aku kesal. “Mak Yun mau bilang aku pelit?”
“Nadya, Mak Yun tidak mengatakan itu.”
Akan tetapi, aku tahu maksud Mak Yun begitu. Dengan sebal, aku menyeberang jalan. Di rumah, aku main masak-masakan sendiri. Kudengar suara ribut teman-temanku. Kubereskan mainan, lalu melangkah keluar.
“Mau ke mana, Nadya?” tanya Mak Yun dari pagar rumahnya. Ia memerhatikan mainan yang kubawa. Ia pasti sudah menduga, aku mau pergi ke rumah Tata.
***
Di lain hari, Mak Yun mengajak aku dan teman-teman membuat agar-agar di rumahnya. Panci, gula, bubuk agar-agar, telah tersedia di meja dapur.
“Tuang empat gelas air ke dalam panci,” ujar Mak Yun.
Aku segera mengambil panci dan gelas. Lalu menuangkan tiga gelas air ke dalam panci.
“Masukkan sepuluh sendok gula dan sedikit garam.”
“Aku saja!” Aku mendorong Arum yang meraih kaleng gula.
“Tunggu!” kataku pada Tito yang hendak menuang garam.
“Sekarang tuang bubuk agar-agar pelan-pelan sambil diaduk.” Kutuang bubuk merah sesuai perintah. Tangan Tata bergerak hendak mengaduk.
“Jangan! Aku bisa!” Kurebut sendok di tangan Tata. Kutuang bubuk agar-agar dengan tangan kiri, sambil mengaduk pelan.
“Huh, Nadya kerja sendiri!” protes Liman.
“Memang aku bisa, kok!” sanggahku.
Aku mengaduk agar-agar sampai mendidih. Lalu, Mak Yun menuang agar-agar matang ke dalam cetakan. Setelah mencuci panci, Mak Yun berkata, “Sekarang, kita membuat agar-agar hijau. Tadi Nadya bisa bekerja sendiri. Sekarang, buktikan kita bisa bekerja sama!”
“Yeee…!” Anak-anak bersorak, kecuali aku. Agar-agar hijau kami buat bersama. Arum memasukkan air ke dalam panci yang kupegang. Tata menuang gula, Tito menuang garam. Arum memasukkan bubuk agar-agar dan Tito mengaduknya agar larut. Di atas kompor, Liman mengaduk agar-agar sampai matang.
Agar-agar hijau dikerjakan lebih cepat. Namun, aku tak senang.
Mak Yun mengerti perasaanku. Setelah kami menikmati agar-agar yang dingin dan pamit pulang, Mak Yun memberiku sekotak agar-agar sembari berpesan, ”Tunjukkan pada mamamu. Agar-agar merah buatanmu sendiri, yang hijau hasil kerja sama.”
“Tadi aku mau menang sendiri, ya, Mak?” tanyaku.
“Hmm, lihat, bersama-sama itu menyenangkan, kan? Pekerjaan jadi cepat selesai dan kita bisa lebih akrab dengan teman-teman,” ujar Mak Yun. Aku diam saja.
Pernah Mak Yun memintaku membacakan koran untuknya. Koran belum selesai dibaca, mata Mak Yun telah lelah. Sebenarnya aku tak begitu suka membaca. Jadi, aku hanya mau membaca satu berita. Kolom yang dipilih Mak Yun ternyata cerita anak-anak. Aku jadi asyik membacanya. Mak Yun kemudian menyuruhku membaca puisi di bawah kolom cerita.
Aku berdiri, membaca puisi dengan gaya. Mak Yun bertepuk tangan. Mak Yun memang Sering mengajakku membaca buku cerita atau majalah bersama-sama.
Setelah membaca, biasanya Mak Yun berkebun. Di sisi pagar rumahnya, ada berbagai macam tanaman. Ia paling suka bunga mawar. Mawarnya bermacam-macam dan berwarna-warni.
***
Suatu hari, Mak Yun membeli tanaman mawar lagi.
“Mak, bolehkah aku menanam bunga mawar ini?” pintaku.
“Boleh...” Mak Yun setuju. Ia memberikan pot yang sudah diisi tanah padaku. Lalu aku melepas wadah plastik mawar.
“Auuuw...!” aku menjerit.
“Kamu pasti kena duri mawar!” seru Mak Yun.
“Mak, sih, enggak mengingatkan aku. Aku enggak jadi menanam mawar, ah!” ujarku. Mak Yun pun mengerjakannya sendiri. Ia duduk pada sebuah kursi kecil. Setelah selesai, ia berujar,
“Nadya, bantu Mak berdiri,” pinta Emak.
“Enggak mau! Tanganku sakit!” tukasku
“Wah, bisa-bisa Mak duduk di sini semalaman!” gerutu Mak Yun. Kedua tangannya bertumpu pada tanah. Ia mengangkat badannya. Aku tertawa. Ia tampak nungging. Mak Yun duduk lagi. “Lutut Mak sakit,” keluhnya.
“Tanganku juga sakit.” Kutunjukkan jari-jari yang tertusuk duri. Mak Yun berusaha lagi. Pantatnya terangkat. Ups, ia tetap tak sanggup berdiri. Buru-buru aku menyangga badannya.
“Yaaa... Berhasil!” ujar Mak Yun senang. Ia tersenyum padaku dan berkata, “Sebenarnya kamu anak baik. Sampai besar kau tetap anak baik, Nadya.”
Begitulah aku mengingatnya. Aku percaya kata-katanya, bahwa sampai besar, aku akan tetap menjadi anak baik.
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Lena D.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR