Raja Edgar memiliki seorang istri yang cantik dan baik hati bernama Ratu Edwina. Keduanya sudah lama ingin memiliki seorang putra. Raja Edgar adalah putra tunggal. Ia tak memiliki kakak maupun adik. Jika mereka tidak mendapat anak, maka sepupu Raja Edgar yang akan menjadi pewaris tahta. Sepupu Raja Edgar bernama Putri Fay.
Setelah bertahun-tahun menanti, akhirnya Ratu Edwina melahirkan seorang putra. Namun kesehatannya lalu memburuk. Ia hanya terbaring di tempat tidur, dan Raja Edgar menungguinya dengan setia. Sayangnya, Ratu Edwina lalu meninggal dunia.
Raja sangat sedih kehilangan istrinya yang tercinta. Satu-satunya yang kini menghibur hatinya adalah puteranya yang masih bayi itu.
Pada saat upacara pemberian nama pada bayi itu, Raja Edgar mengundang Ratu Milaya. Ia adalah ratu dari kerajaan tetangga, sahabat baik Ratu Edwina. Ratu Milaya terkenal baik hati. Raja Edgar mengundangnya untuk memberi nama pada puteranya.
Ratu Milaya memberi nama bayi itu Alphege. Dan sejak saat itu, Ratu Milaya sangat menyayangi Pangeran Alphege, putera sahabat baiknya. Sementara itu, Putri Fay sangat tidak suka pada Pangeran Alphege. Jika Pangeran Alphege tidak ada, dialah yang akan menjadi Ratu di kerajaan itu.
Beberapa tahun kemudian, Putri Fay menikah dan melahirkan seorang putera yang diberi nama Marley. Setelah memiliki putra, Putri Fay jadi semakin iri pada Pangeran Alphege.
“Pangeran Alphege harus kusingkirkan, supaya Marley bisa naik takha menggantikan kakakku, Raja Bernard,” pikir Putri Fay.
Maka diam-diam, Putri Fay bertemu dengan teman lamanya, Peri Gunung.
“Peri Gunung, carilah cara untuk menyingkirkan Alphege,” pinta Putri Fay pada Peri Gunung.
“Aku akan berusaha membantumu. Tapi agak sulit mencelakakan Pangeran Alphege di wilayah kekuasaan Raja Bernard. Keponakanmu itu dilindungi kekuatan yang lebih besar dari kekuatanku,” kata Peri Gunung.
Ia lalu menjelaskan, bahwa Pangeran Alphege dilindungi oleh Ratu Milaya. Walau tinggal di negeri yang jauh, Ratu Milaya rupanya bisa merasakan, Pangeran Alphege ada dalam bahaya. Karena itu, ia mengirim sebuah kalung batu rubi besar dan indah untuk Pangeran Alphege.
Kalung batu rubi itu harus dipakai siang dan malam sebab akan menjadi pelindung dari berbagai serangan jahat. Sayangnya, kekuatan batu rubi itu hanya berlaku di dalam wilayah kerajaan Raja Bernard. Jika Pangeran Alphege keluar dari kerajaan itu, maka ia tidak akan terlindungi.
Putri Fay akhirnya berusaha membuat Pangeran Alphege keluar dari kerajaan itu. Namun usahanya selalu gagal.
Sementara itu, di negeri yang jauh, tinggallah Edita, adik perempuan Ratu Edwina. Ia menikah dengan seorang saudagar, sehingga tinggal di negeri yang jauh itu. Ketika Ratu Edwina masih hidup, Edita sering bertukar kabar dengan kakaknya itu. Ia sudah mendengar kabar tentang keponakan satu-satunya, Pangeran Alphege.
Suatu hari, Edita berkirim surat pada Raja Edgar untuk mengizinkan Pangeran Alphege mengunjunginya. Edita sangat ingin bertemu dengan keponakannya itu. Semula Raja Edgar ragu-ragu, namun akhirnya ia setuju.
Pangeran Alphege saat itu berusia empat belas tahun. Ia sangat tampan. Pada masa kecilnya, ia dirawat seorang pengasuh yang baik hati bernama Bu Alden. Setelah Pangeran Alphege menginjak remaja, Bu Alden tidak mengasuhnya lagi. Namun Pak Alden kini menjadi guru pribadi yang mengajarinya berbagai ilmu pengetahuan.
Pangeran sangat senang karena tidak terpisah dari suami istri yang sangat baik ini. Mereka sangat mencintai Pangeran Alphege, seperti mencintai putri tunggal mereka, Zayda. Zayda dan Pangeran Alphege juga saling menyayangi seperti kakak beradik.
Ketika Pangeran Alphege pergi ke negeri bibi Edita, Pak dan Bu Alden menemaninya bersama banyak pengawal. Selama perjalanan di wilayah kekuasaan Raja Bernard, semuanya berjalan dengan baik. Namun setelah melewati perbatasan, mereka harus melewati dataran gurun yang terik.
Ketika udara semakin terik, rombongan kereta Pangeran Alphege berhenti di bawah pepohonan.
Pangeran Alphege mulai merasa haus dan ingin minum air yang segar.
Tiba-tiba, ia melihat ada aliran air yang cukup besar di dekat tempat itu. Ia segera turun dari keretanya dan berlari ke aliran air yang tampak jernih dan segar. Pangeran Alphege meraup air dengan tangannya, lalu meminumnya. Pada saat itu juga, tubuhnya menghilang dalam sekejap.
Para pengawal dan suami istri Alden cemas mencarinya. Mereka berteriak-teriak ke sekeliling tempat itu memanggil nama pangeran. Namun tiba-tiba saja, muncul seekor monyet hitam di atas batu besar.
“Orang-orang yang malang… Percuma saja kalian mencari Pangeran Alphege. Kembalilah ke negerimu. Dia tidak akan dikembalikan pada kalian, sampai kalian bisa mengenalinya…” kata monyet hitam itu, lalu menghilang dari atas batu.
Para pengawal dan suami istri Alden sangat sedih. Mereka kembali mencari sang pangeran, namun tetap tak bisa menemukannya. Karena tak punya pilihan lain, mereka akhirnya pulang kembali ke istana membawa kabar sedih itu.
Raja Edgar sangat sedih mendengar kabar itu. Ia sampai jatuh sakit, dan tak lama kemudian meninggal dunia.
Putri Fay sangat gembira, karena kini ia menjadi Ratu Fay yang berkuasa di kerajaan itu. Sementara Marley, anaknya, menjadi putera mahkota menggantikan Pangeran Alphege.
Akan tetapi, rakyat kerajaan itu tidak menyukai Ratu Fay. Ia memungut pajak yang tinggi dari rakyatnya. Rakyat juga yakin, kalau hilangnya Pangeran Alphege, pasti karena ulah Ratu Fay.
Tahun demi tahun berlalu. Pak Alden pun meninggal dunia. Bu Alden juga pensiun dan membawa Zayda pulang ke rumah mereka sendiri. Zayda telah tumbuh menjadi gadis yang cantik. Keduanya tak pernah melupakan Pangeran Alphege dan selalu sedih setiap kali mengenangnya.
Tak hanya Zayda, Marley pun telah tumbuh dewasa. Ia bahkan telah menjadi raja muda. Marley sangat suka berburu. Ia sering pergi ke hutan bersama putra-putra para bangsawan.
Suatu hari, setelah lelah berburu rusa, Marley beristirahat sejenak di dekat sungai kecil. Teman-temannya telah menyediakan tenda indah untuknya di situ. Pada saat akan melahap makan siangnya, tiba-tiba ia merasakan ada yang sedang mengamatinya. Raja Marley akhirnya sadar, ada seekor monyet kecil duduk di atas sebatang pohon. Warna bulunya hijau terang. Monyet itu menatapnya lembut sehingga membuat Raja Marley terharu.
Putera-putera bangsawan lainnya hendak melempari monyet itu dengan buah-buahan. Namun Raja Marley melarang mereka. Monyet itu terus menatap Raja Marley sambil berpindah dari dahan ke dahan. Perlahan, ia lalu mendekati Raja Marley. Raja muda itu segera menawari monyet itu makanan.
Monyet yang tampak jinak itu, mengambil makanan dari tangan Raja Marley. Ia lalu makan dengan tenang di sisi raja itu. Raja Marley sangat gembira. Ia memeluk monyet itu dan membawanya pulang ke istana. Raja Marley merawat sendiri monyet hijau itu dengan telaten.
Suatu pagi, Bu Alden dan Zayda sedang duduk santai di ruang keluarga. Jendela ruangan mereka terbuka lebar. Tiba-tiba saja, monyet hijau itu melompat masuk ke dalam. Rupanya, monyet itu melarikan diri dari istana.
Zayda dan Bu Alden tadinya ketakutan. Namun, monyet itu tampak sangat jinak dan menatap mereka dengan lembut.
Zayda akhirnya memberanikan diri mengelus kepala monyet itu. Tak lama kemudian, Zayda dan Bu Alden sudah akrab dengan hewan jinak itu. Si monyet melompat kesana kemari, menari menghibur Zayda dan ibunya.
Monyet itu cukup lama berada di rumah Bu Alden. Sampai akhirnya, datanglah Raja Marley ke rumah itu untuk menjemput monyetnya. Namun, monyet hijau itu berteriak-teriak di gendongan Raja Marley, seakan tidak ingin kembali ke istana.
(Bersambung)
Teks: Adaptasi dongeng Inggris / Dok. Majalah Bobo
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR