Kata hijau kecil akhirnya tidak tega lagi melihat wajah Pangeran Saphir. Hatinya melunak. Ia kembali mengeluarkan sebuah kantung kecil dan berpesan,
“Kembalilah ke kastil itu. Dan kali ini, tabur butiran berlian kecil ini di depan gerbang kastil! Tapi ingat, jangan ke kandang kuda dan kamar gadis itu! Kali ini,
susurilah halaman depan kastil. Kau akan menemukan hutan kecil yang di tengahnya tumbuh sebatang pohon dengan batang emas dan daun zamrud. Di salah satu dahannya, kau akan menemukan burung cantik yang selama ini kau cari. Potonglah dahan tempat burung itu bertengger, dan segera bawa kepadaku!”
Pangeran Saphir berjanji akan melakukan apa yang diperintahkan padanya.
“Tapi ingat! Jika kau tidak patuh pada perintahku, usahamu akan gagal selamanya, dan tak ada yang bisa menolongmu!” kata katak itu lagi. Ia lalu melompat ke dalam kolam mata air.
Pangeran Saphir kini lebih bersungguh-sungguh melakukan semua yang diperintahkan katak kecil. Ia melangkah menyusuri halaman kastil, menemukan hutan kecil, melihat pohin megah, dan burung bermata berlian yang tidur di salah satu dahan pohon.
Dengan cepat ia memotong dahan pohon tempat si burung bertengger. Ia melihat sebuah sangkar emas indah tergantung di pohon itu. Sangkar itu pasti sangat berguna untuk menyimpan burung itu. Namun, untunglah ia teringat pesan si katak kecil. Segera ditinggalkannya sangkar dan kastil itu. Ia berjalan pelan sekali, karena takut si burung terbangun. Ia akhirnya tiba di kolam mata air. Akan tetapi, ia sangat terkejut. Kolam mata air di tempat itu sudah lenyap. Kini berganti dengan sebuah istana kecil yang indah.
Di ambang pintu istana itu, tampak seorang gadis cantik yang tersenyum dan menyambutnya.
“Putri, apakah aku mengenalmu?” tanya Pangeran Saphir bingung.
“Ah, mungkin Pangeran tidak mengenalku,” kata gadis itu tersipu. “Tapi aku mengenalmu, sebab aku sering melihat wajahmu sejak dulu.”
Pangeran Saphir kini tersadar. Gadis itu adalah gadis yang selalu dilihatnya di cermin di kamarnya.
“Oh, Putri… aku pun sudah mengenal wajahmu sejak dulu kala…”
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR