Di sebuah kota terpencil, terdapat sebuah stasiun kecil. Hampir setiap kereta api yang lewat singgah sebentar di stasiun itu untuk mengambil dan menurunkan penumpang.
Pak Dadang, telah 20 tahun bekerja sebagai kepala perjalanan di stasiun itu. Kepala perjalanan adalah orang yang meniupkan pluit setiap kereta akan berangkat. Karen itu, ia hafal waktu kereta tiba di stasiun itu.
Semua masinis dan beberapa penumpang mengenal Pak Dadang. Pak Dadang adalah seorang pekerja yang baik dan ramah.
Malam itu, Pak Dadang pulang lebih cepat daripada biasanya. Ia tahu persis bahwa tak akan ada lagi kereta yang datang pada malam hari iru. Pak Dadang pulang berjalan kaki ke rumahnya yang letaknya tidak jauh dari stasiun. Ia lelah sekali setelah bekerja sepanjang hari.
Ketika sedang berbaring di tempat tidur, terdengar suara kereta api. Pak Dadang terkejut. Setelah berpikir sebentar, ia segera mengambil mantelnya dan pergi ke stasiun.
Tak lama setelah Pak Dadang tiba, kereta pun tiba. Dengan ramah Pak Dadang menyambut para penumpang. Seorang wanita tua menatap Pak Dadang dan tersenyum
“Selamat malam, Pak. Apakah ini Negeri Tiongkok? Kami hendak pulang ke negeri kami di Tiongkok,” sapa wanita tua itu.
“Selamat malam, ini bukan Negeri Tiongkok, Bu!” jawab Pak Dadang.
Semua penumpang itu kecewa mendengar jawaban Pak Dadang. Jumlah penumpang kereta api itu ada 99 orang.
“Ya, ampun,” keluh mereka, “sudah seharian berjalan belum juga tiba di tempat tujuan. Kami lelah sekali dan ingin beristirahat.”
“Kalau begitu, beristirahatlah di rumahku. Besok baru melanjutkan perjalanan kembali,” kata Pak Dadang.
Semua penumpang kereta api setuju. Mereka pun turun dari kereta. Dengan berbaris mereka menuju ke rumah Pak Dadang. Mereka memenuhi rumah Pak Dadang yang tidak terlalu besar itu. Ada yang duduk di kursi makan, di bangku panjang, di atas peti, bahakn di atas meja. Malam itu rumah Pak Dadang benar-benar penuh.
Pak Dadang membuat teh hangat dan menggoreng telur. Kebetulan ia masih memiliki sedikit roti dan biskuit. Semua itu dia berikan kepada 99 orang penumpang kereta api itu. Mereka langsung menyantap makanan yang dihidangkan Pak Dadang dengan lahap.
“Semoga kalian bisa benar-benar beristirahat,” kata Pak Dadang.
“Kami berterima kasih kepada Bapak karena mengizinkan kami untuk melepas lelah di sini.”
Seorang tetua maju ke depan, “Sebagai tanda terima kasih, kami akan menghibur Bapak. Ching Chang Chun, kemarilah kau, Nak,” panggil tetua itu.
Orang-orang bergeser memberi tempat kepada Ching Chang Chun untuk menari. Ia menari dengan lemah gemulai bagaikan seekor kupu-kupu. Pada bajunya tergantung banyak lonceng kecil perak. Lonceng-lonceng itu berdenting mengiringi tarian Ching Chang Chun.
“Alangkah indahnya tarianmu,” puji Pak Dadang setelah Ching Chang Chun selesai menari.
“Terima kasih atas hiburan yang kalian berikan. Apakah kalian hendak bermalam di sini? Jika mau bermalam, kalian dapat tidur di tempat tidurku secara bergantian,” ujar Pak Dadang.
“Terima kasih, Pak. Sayang sekali kami harus melanjutkan perjalanan kami sebab perjalanan kami masih jauh sekali.”
Pak Dadang kemudian pergi ke kebun jeruknya. Ia memetik 99 buah jeruk untuk tamu-tamunya itu.
“Ini untuk obat penahan kantuk,” ucap Pak Dadang sambil memberikan jeruk kepada masing-masing tamunya.
Para penumpang kereta api itu segera naik ke kereta api mereka setelah berpamitan pada Pak Dadang. Setelah itu, Pak Dadang melanjutkan tidurnya lagi.
Keesokan paginya, Pak Dadang teringat peristiwa semalam. Ia yakin itu hanay mimpi karena tidak mungkin ada kereta api lain yang tidak ia kenal. Ia pun pergi ke ruang tamu, di mana semua tamunya berkumpul tadi malam.
“Tidak! Aku tidak bermimpi. Lihat, di meja ini ada sisa-sisa makanan. Ada juga sebuah lonceng milik Ching Chang Chun,” kata Pak Dadang pada dirinya sendiri.
Pak Dadang membunyikan lonceng kecil itu. Ia teringat pada tarian indah Ching Chang Chun dan gemerincing loncengnya.
Setelah itu Pak Dadang segera bersiap-siap untuk kembali bekerja. Apakah malam ini ia akan bertemu dengan kereta api berpenumpang 99 orang lagi?
Sumber: Arsip Bobo. Cerita: Cis.
Menuju Dua Dekade, National Geographic Indonesia Gelar Pameran Foto Sudut Pandang Baru Peluang Bumi
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR