Dongeng Anak: Gadis Penyapu Awan

By Sarah Nafisah, Sabtu, 9 Februari 2019 | 18:30 WIB
Ilustrasi gadis penyapu awan (Dok. Majalah Bobo)

Bobo.id - Hai teman-teman, pasti sudah tidak sabar menunggu dongeng anak hari ini, ya?

Dongeng anak hari ini berjudul Gadis Penyapu Awan.

Yuk, langsung saja kita baca dongeng anak hari ini!

----------------------------

Baca Juga : Dongeng Anak: Bunga Biru dari Kastil Es

Namaku Penyapu Awan. Apakah teman-teman pernah mendengar namaku? Tidak? Ah, sudah kuduga! Orang-orang memang tidak pernah peduli padaku. Itulah sebabnya aku menjadi sedih.

Kalau mendengar namaku, teman-teman pasti tahu tugasku. Ya, menyapu awan-awan agar hujan tidak turun di musim kemarau. Aku ditugaskan oleh Dewa Matahari. Ugh, tapi, sekarang aku sedang bosan dengan tugasku.

Baca Juga : Para Ahli Menyebut Gempa Palu Sebagai Fenomena Supershear, Apa Itu?

Bagaimana tidak bosan? Aku sudah capek-capek berusaha menyapu awan-awan. Aku harus memindahkan mereka dari atas negeri yang sedang mengalami musim kemarau ke atas negeri yang sedang musim hujan. Uhhh... berat sekali menyapu awan yang besar-besar itu! Aku sampai berkeringat.

Baca Juga : Ada Protein Nabati dan Protein Hewani, Apa Perbedaannya?

Tiba-tiba aku mendengar percakapan dua anak manusia. Aku tahu, nama mereka Aresta dan Felicia. Mereka tinggal di negeri yang sedang musim kemarau.

"Huuh, panas sekali!" seru Aresta.

"lya," sahut Felicia. "Coba ada awan yang selalu memayungi langkah kita. Pasti matahari tidak akan bersinar begitu terik."

"Ini pasti ulah Penyapu Awan!" gerutu Aresta. Felicia menoleh. "Siapa dia?"

Baca Juga : Dulu Lumba-Lumba Baiji Tinggal di Sungai Yangtze, Bagaimana Ia Punah?

"Ah, dia hanya si jelek tukang menyapu awan-awan yang seharusnya meneduhkan kita!" kata Aresta.

Apa? Aresta menyebutku si jelek? Tentu saja aku sebal mendengar obrolan kedua anak itu. Huh, mereka cuma iri padaku! Pasti karena aku lebih cantik.

Baca Juga : Ketagihan Mi Instan Tak Baik Bagi Kesehatan, Ini 5 Cara Mengatasinya!

Hmm, aku ingin membalas kata-kata mereka yang kasar itu. Pelan-pelan, aku mengambil sapuku. Awan-awan yang sudah kukumpulkan di sudut langit aku acak-acak lagi. Nah, sekarang awan bertebaran di mana-mana. Hihi, pasti sebentar lagi turun hujan.

Duarr! Benar saja! Petir, temanku, mulai menepukkan tangannya hingga mengeluarkan bunyi keras. Hahaha... aku tertawa melihat Aresta dan Felicia lari mencari tempat perlindungan. Aku tambah awan lagi, ah!

Baca Juga : Makanan Paling Aneh di Dunia, Ternyata Banyak dari Negara Asia, lo!

Duarr! Petir kembali Menepukkan tangannya. Kini, hujan rintik- rintik mulai turun. Semakin lama, semakin deras. Hahaha... aku terpingkal-pingkal melihat Aresta dan Felicia berlari dengan tubuh basah kuyup. Rasakan pembalasanku!

Ups, siapa yang datang? Oh, Dewa Matahari mendatangiku! Apa yang harus kulakukan? Aku harus bersembunyi! Aku buru-buru mengambil sapuku. Tapi, belum sempat aku berlari, Dewa Matahari sudah memegang tanganku!

Baca Juga : Cuaca Dingin di Amerika Membuat Apel Membeku dan Menghilang, Kok Bisa?

"Gadis Penyapu Awan! Apa yang kamu lakukan? Mengapa kamu tidak melakukan tugasmu?" tanya Dewa Matahari dengan marah.

"S...ss...saya....," jawabku dengan gugup. Oh, apa yang harus kukatakan?

Tiba-tiba Dewa Matahari melihat Aresta dan Felicia yang basah kuyup.

Baca Juga : Kisah Oreo, Rakun Inspirasi Rocket Raccoon di Guardian of the Galaxy

"Siapa mereka?" tanya Dewa Matahari. Haruskah aku berterus terang? Aku pun terisak. "Aresta dan Felicia. Mereka menyebutku si jelek."

Dewa Matahari tersenyum. Ugh, bagaimana mungkin dia bisa tersenyum, padahal hatiku begitu sakit.

"Ayo, ikut aku!" ajak Dewa Matahari. Aku menurut dan mengikutinya.

Baca Juga : Cerita Misteri: Petualangan di Wisteria Lodge (4) Surat yang Dibuang

"Gadis Penyapu Awan, lihatlah di sebelah sana!"

Aku memandang ke arah yang ditunjuk Dewa Matahari. Seorang laki-laki bersama istrinya sedang memandang hujan dari jendela rumah mereka.

"Kenapa hujan turun di musim kemarau? Tanaman kita, kan, jadi rusak," keluh sang lelaki.

Baca Juga : Kenapa Warna Mata Manusia Bisa Berbeda-beda, ya? #AkuBacaAkuTahu

"Jadi, kita tidak akan bisa panen?" tanya sang istri. Laki-laki itu menarik napas panjang.

"Panen?! Semua tanaman di ladang kita pasti busuk."

Aku melihat air mata mengalir di pipi perempuan itu. Tanpa sadar, aku mengusap pipiku juga. Basah oleh air mata. Dewa Matahari memandangku.

Baca Juga : Makanan Cokelat yang Mudah Dibuat Ada Banyak, lo! Coba Buat, yuk!

"Bagaimana? Sudah melihat hasil perbuatanmu?"

Aku mengangguk. Ya, semua ini salahku. Aku hanya mencari kesenanganku sendiri tanpa memikirkan orang lain. Aku senang bisa membalas kelakuan Aresta dan Felicia. Tapi, aku tidak berpikir kalau apa yang kulakukan bisa menyusahkan orang lain.

Baca Juga : Fakta Menarik Sungai Nil di Afrika, Sungai Terpanjang di Dunia!

Seandainya awan tidak kusebar, hujan tidak akan turun. Tanaman di ladang petani itu tidak akan busuk. Mereka akan menikmati panen dan bisa hidup dari hasil panen itu.

Baca Juga : Teman-Teman Hobi Menulis? Ikut Lomba Menulis Majalah Bobo, yuk!

Kutahan air mataku. Aku kembali menyapu awan-awan. Ternyata, tugasku sangat berarti bagi orang lain. Aku tak peduli lagi meskipun ada yang mengatakan aku jelek. Tidak ada orang yang sempurna di dunia ini. Apapun yang dikatakan orang lain, aku tetap bangga pada diriku, Gadis Penyapu Awan.

Baca Juga : Lampu Keren Ini Bisa Kita Buat Sendiri, Yuk, Buat Lava Lamp!

Cerita Oleh: Veronica Widyastuti. Ilustrasi: Dok. Majalah Bobo

Tonton video ini, yuk!