Tujuh kata yang dimaksud, yakni "...dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya."
Sila pertama yang tercantum dalam Piagam Jakarta bisa menimbulkan kekacauan terhadap adat bangsa.
Ada juga yang beranggapan bisa menimbulkan fanatisme karena seolah memaksa menjalankan syariat Islam.
Untuk menanggapi hal itu, dijelaskan bahwa Piagam Jakarta sudah mewakili golongan Islam dan kebangsaan.
Ini artinya, apabila kalimat itu tidak dimasukkan, maka Piagam Jakarta tidak akan bisa diterima oleh kaum Islam.
Setelah itu, Dr. Radjiman mengatakan, karena pokok-pokok lain tak ada yang menolak, preambule dianggap diterima.
Meski telah disepakati pada sidang BPUPKI, frasa ketuhanan masih jadi masalah setelah Proklamasi Kemerdekaan, lo.
Tersiar kabar bahwa rakyat Kristen di Indonesia Timur menolak bergabung jika syariat Islam masuk dalam UUD.
Menanggapi hal itu, Moh. Hatta mengumpulkan wakil golongan Islam untuk membicarakan persoalan itu.
Dalam pembicaraan informal, disepakati frasa ketuhanan yang awal diganti dengan "Ketuhanan yang Maha Esa".
Baca Juga: Hasil Kerja Panitia Sembilan: Isi Piagam Jakarta, Proses Pembuatan, dan Perubahannya
Keputusan dihapuskannya kata "Syariat Islam" akhirnya mendapat protes dari sebagian kecil umat Islam, teman-teman.