“Kamu sering ke sini?” mata Kiria berbinar antusias. “Jangan-jangan kamu ke sini dengan penulis surat itu!”
Taras menggeleng. “Aku tak ingat pernah punya teman di daerah ini.” Luna menghela napas putus asa.
Tiba-tiba, Taras berjongkok. Dengan gerakan cepat ia mengetuk-ngetuk lantai sambil memiringkan kepalanya.
“Ngapain, sih?” Ota bertanya bingung.
“Bagian sini kopong!” seru Taras bersemangat. “Pinjam jepit rambutmu, Na!”
Dengan cekatan Luna melepaskan jepit rambutnya. WUUUSSHHH! Angin langsung meniup rambut panjangnya.
Sepenuh tenaga Taras mencungkil lantai itu. Ternyata, dengan mudah lantai itu terlepas. Tampak sebuah kotak kayu berwarna cokelat di dalamnya.
“Astagaaa! Kita berhasil!” Ota membelalak.
“Hebat kamu, Ras!” puji Luna.
Namun Taras hanya tersenyum tipis, seolah-olah merasa ada yang tak beres. Ia sendiri tidak mengerti, mengapa ia bisa tahu ada lubang di situ? Kiria buru-buru mengambil kotak itu. Ia membukanya. Tersimpan sebuah mobil-mobilan yang sudah berkarat. “Wow! Dulu ini pasti mainan yang sangat keren!”
Lagi-lagi Taras mengerutkan kening.
“Kenapa? Jangan bilang de javu lagi,” tegur Kiria curiga.