Sepucuk Surat Dalam Botol

By Vanda Parengkuan, Sabtu, 12 Mei 2018 | 13:00 WIB
Ota menyerahkan surat itu kepada Luna. Luna meraih dan hendak membacanya. (Vanda Parengkuan)

Geng LOTRIA berlibur ke rumah peristirahatan milik keluarga Taras di tepi pantai.

“Apa rencana kita hari ini?” tanya Luna sambil membuka jendela dan menarik napas panjang.

“Uhuk! Uhuk!” ia terbatuk-batuk. Olala... Ternyata ada banyak asap masuk.

“Haaaahh? Kebakaran, ya?” tanya Ota panik.

“Bukan. Itu berasal dari rumah makan Itali di belakang,” jelas Taras. “Pizza mereka masih dimasak di dalam pemanggang tradisional. Jadi masih pakai cerobong asap. Naah, kalau arah angin sedang seperti ini, asapnya memang sering lari ke sini.”

Kiria ikut terbatuk-batuk. “Kalau begitu, kita pergi saja, yuk!”

“Yuuuk! Kita ke pantai!” ajak Luna.

“Aaaasssyiiikkkk!” seru Kiria. Mereka semua berlari menuju laut.

“Kaaak! Tunggu, dong!” seru Ota keras. Ia berlari menyusul kakaknya, Luna. Namun Luna dan Kiria sudah cukup jauh ke tengah.

“Kaaak! Ota takut kalau terlalu ke tengah laut!” protes Ota.

“Kalau begitu, kamu main sendiri saja. Kan sudah gede, masa harus ditemani terus?” teriak Luna.

Ota merengut. Tetapi, ia berpaling. Mendingan main pasir, katanya dalam hati. Sementara itu, tampak Taras memilih duduk di bawah pohon kelapa. Ia lalu asyik membaca tanpa memedulikan bunyi gemuruh ombak.

Ota mulai asyik bermain sendiri. Ia sibuk mengeruk pasir. Menumpuk-numpuknya, mencoba membuat istana pasir.

BYUUURRR! Ombak menghempas istana pasir Ota. Istana pasir itu pun runtuh.

“Yaaaaahhh!” Ota mengeluh kecewa.

Air laut sudah menyurut.  Tampak sebuah botol tergeletak tepat di atas tumpukan pasir bekas istana buatan Ota. Ota meraih botol itu. Eh! Ada kertas tersimpan di dalamnya! Ota membuka sumbatan botol itu dan mengeluarkan kertas itu.

Aku kesepian... Setiap hari sendirian. Aku jadi teringat akan harta karunku yang telah kubenam. Aduh, betapa aku ingin punya sahabat... Sahabat yang akan mengambilkan harta karun itu untukku. Maukah kamu jadi sahabatku? Jika ya, ambilkanlah harta karun itu untukku? Terletak di batang tertinggi di daerah ini. Dan temukanlah aku di bawah payung warna biru.

Ota terbelalak membaca surat itu. Surat yang aneh! Siapa penulisnya?

“Kaaak Lunaaaaaa!” spontan Ota berseru. Luna dan Kiria menghampiri Ota dengan baju dan rambut yang basah dan penuh pasir.

“Kenapa, Ta?” tanya Luna.

Ota menyerahkan surat itu kepada Luna. Luna meraih dan hendak membacanya. Namun, “Aku juga mau baca!” Kiria dengan tak sabar segera menyambar surat itu. Setengah berebutan, kedua gadis itu membaca surat itu pelan-pelan. Sepasang mata sipit Kiria langsung terbelalak,

“Ini tantangan untuk Geng LOTRIA!”

“Tapi surat ini kelihatan sudah lama sekali. Tidak mungkin bisa kita lacak!” sahut Luna.

“Harus dicoba!” bantah Kiria. “Lagipula... Apa kamu tidak kasihan pada penulis surat ini? Kalau kita tidak menanggapi surat ini, jangan-jangan dia jadi yakin, tak ada yang mau peduli padanya.”

Luna tertegun. Ia melirik Kiria yang tersenyum-senyum menatapnya. “Uuh! Kamu, nih! Paling tahu deh kalau aku tidak tegaan!”

“Itu suratnya!” tiba-tiba terdengar suara Ota. Kiria dan Luna menoleh. Tampak Ota sedang menarik tangan Taras. Taras meraih surat itu, membacanya dengan serius. Tiba-tiba... keningnya berkerut.

“Kenapa?” tanya Kiria.

De javu..,” gumam Taras.

“Apaan, tuh?” tanya Ota dengan bingung.

De javu itu artinya merasa pernah mengalami sebuah kejadian sebelumnya, tapi tak bisa mengingatnya dengan jelas,” jelas Luna sabar.

“Jadi Kak Taras pernah membaca surat ini sebelumnya?” tanya Ota.

“Jangan-jangan kamu kenal penulis surat ini, Ras?” tanya Kiria bersemangat. “Katamu, waktu kamu kecil kamu sangat sering main ke sini!”

Taras membenarkan letak kaca matanya. “Aku tak ingat... Hanya de javu!”

***

Luna duduk di dahan pohon teratas. Mengamati sekeliling pohon itu. “Tidak ada apa-apa di sini!” serunya ke bawah.

Di bawah, Kiria takut-takut membuka matanya. “Ya sudah! Turunlah! Ngeri sekali melihat kamu berada tinggi sekali seperti itu!”

“Kata Kak Taras, ini pohon yang paling tinggi di daerah sini… Kok, tidak ada apa-apa? Gimana sih, Kak?” protes Ota pada Taras.

Taras membenarkan letak kaca matanya sambil berpikir serius. Ia membuka lipatan surat itu dan membacanya sekali lagi. “Terletak di batang tertinggi di daerah ini...” gumamnya. Tiba-tiba Taras tertegun. Sedetik kemudian, ia berseru, “Luna! Lihatlah! Apakah ada tempat yang lebih tinggi dari pohon itu?”

Luna menoleh berkeliling. “Ada! Ada! Mercusuar!” serunya penuh semangat.

Walaupun sudah lama tak dipakai, mercusuar itu masih berdiri menjulang dengan kokoh. Beberapa saat kemudian, Geng LOTRIA segera berkumpul di atas mercusuar itu. Angin bertiup kencang.

 “Adduuuhhh... Aku takuuutttt, Kaaak...” Ota mengapit tangan Luna.

“Makanya jangan melihat ke bawah,” sahut Kiria sambil merapatkan jaketnya tanpa berani menoleh pada sekeliling.

“Dimana? Di sini tak ada apa-apa,” gumam Luna bingung.

Lagi-lagi Taras tertegun.

“Kenapa?” tanya Kiria.

De jamu lagi?” tanya Ota cepat.

Luna tertawa geli, “De javu, Ota! Bukan jamu!” Namun, Taras menyahuti dengan anggukan yang serius.

“Kamu ingat sesuatu?” tanya Kiria antusias.

“Hanya de javu saja...” Taras menghela napas. “Mungkin karena waktu kecil aku sering memanjat naik ke sini.”

“Kamu sering ke sini?” mata Kiria berbinar antusias. “Jangan-jangan kamu ke sini dengan penulis surat itu!”

Taras menggeleng. “Aku tak ingat pernah punya teman di daerah ini.” Luna menghela napas putus asa.

Tiba-tiba, Taras berjongkok. Dengan gerakan cepat ia mengetuk-ngetuk lantai sambil memiringkan kepalanya.

“Ngapain, sih?” Ota bertanya bingung.

“Bagian sini kopong!” seru Taras bersemangat. “Pinjam jepit rambutmu, Na!”

Dengan cekatan Luna melepaskan jepit rambutnya. WUUUSSHHH! Angin langsung meniup rambut panjangnya.

Sepenuh tenaga Taras mencungkil lantai itu. Ternyata, dengan mudah lantai itu terlepas. Tampak sebuah kotak kayu berwarna cokelat di dalamnya.

“Astagaaa! Kita berhasil!” Ota membelalak.

“Hebat kamu, Ras!” puji Luna.

Namun Taras hanya tersenyum tipis, seolah-olah merasa ada yang tak beres. Ia sendiri tidak mengerti, mengapa ia bisa tahu ada lubang di situ? Kiria buru-buru mengambil kotak itu. Ia membukanya. Tersimpan sebuah mobil-mobilan yang sudah berkarat. “Wow! Dulu ini pasti mainan yang sangat keren!”

Lagi-lagi Taras mengerutkan kening.

“Kenapa? Jangan bilang de javu lagi,” tegur Kiria curiga.

“Waktu kecil, aku pernah punya mainan seperti itu. Tapi hilang entah kemana,” jelas Taras. “Kok, bisa kebetulan, ya?”

Luna menggigit bibir. “Jangan-jangan... penulis surat itu mencuri mainan itu darimu! Kamu yakin tak pernah mengenal siapapun di daerah ini?”

Taras menggeleng. “Kalian tahu sendiri. Aku ini sangat pendiam dan pemalu. Aku jarang punya teman. Apalagi di tempat peristirahatan dekat pantai seperti ini.”

“Lihaaaattt!” Kiria menunjuk penuh semangat. “Ada payung biru di atas genteng!”

Semua seketika menoleh ke arah itu. Benar saja! Di salah satu atap rumah, tampak sebuah payung warna biru. Bukan benar-benar payung, tetapi gambar payung yang dilukis di atas atap dengan menggunakan cat!

“Waaah... Tapi kita hanya melihatnya dari atas. Bagaimana cara kita tahu rumah siapa itu? Tak mungkin kita datangi dan minta ijin untuk memeriksa genteng semua rumah yang ada di sana. “ gumam Luna bingung.

“Tidak perlu!” geleng Kiria. “Rumah itu terletak tepat di belakang rumah makan Itali!”

“Tahu dari mana?” tanya Ota.

“Tuuuh! Ada cerobong asap di rumah belakang rumah berpayung biru!”

“Di belakang rumah makan Itali?” Luna mengingat-ingat. “Looo... Berarti itu...”

“Rumahku!” sahut Taras tiba-tiba.

Semua menoleh dengan kaget. Menatap Taras minta penjelasan.

“Masih de javu?” tanya Luna bingung.

Taras menggeleng. “Sudah bukan de javu lagi! Aku sudah ingat. Aku yang membuat surat dalam botol dan mengubur mainan pada waktu aku berlibur ke sini bertahun-tahun lalu.”

Kiria terbelalak. “Astagaaaa... Taras! Kamu ngerjain kami ya?! Kenapa tidak bilang saja dari tadi kalau kamulah pelakunya?”

“Sudah kubilang, aku membuatnya bertahun-tahun yang lalu! Waktu aku kecil dan kesepian. Aku sedang berusaha mencari sahabat yang hobi memecahkan misteri seperti aku. Tentu saja aku sudah lupa! Apalagi, dulu aku sudah nyaris putus asa. Kupikir aku tidak akan menemukan sahabat yang suka memecahkan misteri,” Taras tersenyum-senyum.

“Pantas saja dari tadi de javu melulu,” sahut Luna.

“Tapi, tak disangka-sangka! Ternyata kini Kak Taras bisa menemukan sahabat yang suka memecahkan misteri bersama! Malah bukan cuma satu orang saja!” sahut Ota.

Mereka terdiam. Lalu saling berpandangan. Sedetik kemudian mereka tertawa bersama. Bahagia sekali.

“Hmm... Karena kalian telah berhasil memecahkan misteriku, sekarang kutraktir makan pizza di restoran Itali belakang rumah!” usul Taras.

“Horeeee!” Semua langsung melompat senang.

(Cerita : Alexandra L.Y / Dok. Majalah Bobo)