Di permukaan danau, tampak jelas seperti ada dua layar film. Di layar kiri, Timi sedang menangis sedih di kamarnya. Di layar kanan, tampak Danil meneteskan air mata kesakitan. Setahu Manae, Timi dan Danil jarang menangis. Mereka termasuk anak laki-laki yang pantang menangis.
“Ketika menendang bola, tanpa sengaja bola Timi masuk ke bak sampah. Kebetulan sampah itu sedang dibakar. Bolanya jadi meleleh, terbakar api. Padahal bola itu masih baru. Oleh-oleh dari omnya yang tinggal di London,” Ratu Peri menerangkan.
Ah, Manae mengangguk mengerti. Timi memang sangat membanggakan bola itu karena ada tanda tangan David Beckham-nya. Pantas dia menangis.
“Lalu, mengapa Danil juga menangis?” tanya Manae lagi.
“Ia mencoba menyelamatkan bola Timi dari api. Tapi akibatnya tangannya terbakar. Ia merasa nyeri sekali sampai air matanya menetes,” Ratu kembali menerangkan.
Manae mengerutkan dahi sambil membetulkan bandonya. Namun, apa hubungannya dengan Timchan dan Danchan yang tiba-tiba sedih juga? Baru saja ia akan bertanya, Ratu sudah berkata, “Perasaan peri-peri Negeri Kembaran Bumi, memang tergantung perasaan kembarannya di bumi. Kalau Danil gembira, Danchan juga gembira. Kalau Timi sedih, Timchan juga bisa tiba-tiba jadi sedih.”
Manae mengangguk, mulai mengerti. Walau mengertinya hanya sedikit.
“Tapi... mengapa Manachan kena cacar air? Aku, kan, tidak kena cacar air?” Manae mengerutkan dahi.
“Itu karena kau menangis cengeng. Jika anak bumi sering menangis cengeng, maka peri kembarannya di Negeri Kembar Bumi ini bisa kena cacar air. Sudah lama Manachan sakit. itu sebabnya aku berusaha bertemu denganmu,” wajah Ratu tampak agak kesal.
Manae jadi agak marah juga. Karena Ratu seakan menuduh ia penyebab Manachan kena cacar air.
“Memangnya Timi tidak menangis cengeng?” tanya Manae judes. Kedua tangannya dilipat di dada.
Baca Juga: Dongeng Anak: Bentihe di Hutan Lehi Kuihi #MendongenguntukCerdas
Penulis | : | Sarah Nafisah |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR