Uta merebahkan badannya di kursi sepulang sekolah. Ia merasa lelah dan tidak enak badan.
“Ta, wajahmu pucat sekali. Kamu sakit?” tanya Ayah Abi, seorang laki-laki baik yang mengizinkan Uta tinggal bersamanya agar bisa sekolah di kota. Sudah seperti ayahnya sendiri.
“Iya, Yah. Uta pusing sekali,” jawab Uta.
“Sepertinya karena kamu kelelahan, Ta. Kemarin, kan, baru selesai lomba lari, lalu langsung sekolah dan sedang banyak ulangan,” kata Abi.
“Ya sudah, kamu makan siang dulu, lalu istirahat, ya, Uta,” kata Ayah Abi.
“Kalau besok belum sehat, jangan sekolah dulu,” kata Abi.
Jangan sekolah dulu?
Uta jelas tidak mau kalau tidak pergi ke sekolah, apalagi hanya karena tidak enak badan. Namun, ia juga ingat kata Ibu di kampung kalau kesehatan adalah hal penting yang harus diutamakan.
“Ta, kok, bengong? Sana tiduran dulu saja,” kata Abi. Uta pun menurut.
Tak butuh waktu lama, Uta segera tidur karena kepalanya pusing.
----
“Bapak?” kata Uta melihat bapaknya sedang mencuci kapal nelayan. Ia melihat Bapak menggunakan sepatu boot yang dia berikan sebagai hadiah.
“Uta, anakku….” kata Bapak setengah berlari ke arah Uta.
Uta segera ingin memeluk Bapak, tetapi Bapak tidak mau. “Jangan peluk dulu, Bapak kotor sekali ini habis bersih-bersih kapal,” kata Bapak. Uta tak peduli. Ia tetap memeluk bapaknya.
“Huk huk huk…” Bapak batuk-batuk.
“Bapak sakit?” tanya Uta.
Bapak segera menggeleng. “Tidak, ah. Cuma batuk sedikit saja,” jawab Bapak.
“Huk huk huk… hmmm huk huk hukkk… hmm ….” Bapak batuk-batuk lagi, lama sekali, bahkan hampir muntah.
“Pak? Yuk, kita istirahat saja,” kata Uta.
“Tidak apa-apa huk huk huk. Sedikit lagi kapalnya bersih,” kata Bapak sambil berlari kecil ke kapal.
Uta segera mengikuti langkah Bapak. Ia dengan sigap membantu Bapak membersihkan kapal. Sepanjang menyelesaikan pekerjaannya, Bapak masih batuk-batuk.
Ketika sudah selesai, Bapak tersenyum pada Uta dan memberi isyarat untuk minum teh bersama. Mereka pun duduk di warung kecil dekat pelabuhan.
“Haaah, senang sekali, pekerjaan sudah selesai,” kata Bapak dan tersenyum pada Uta.
“Bapak bekerjanya snagat keras sampai sakit,” kata Uta.
“Ah batuk saja, tidak sebanding dengan sehat dan bahagianya Bapak melihat kamu jadi anak pintar di sekolah,” kata Bapak.
Mereka hanyut dalam angin pantai yang berhembus lembut saat itu. Teman-teman Bapak lewat di depan mereka.
“Oh ini Uta! Bapak kau sering cerita tentang kau, alasan ia bekerja lebih keras,” kata orang itu.
“Dari cuci kapal, bongkar muat, ah banyak yang dikerjakan lagi, demi kau sukses,” kata orang lainnya.
“Kau harus sukses, ya,” kata orang-orang itu bergantian.
Bapak merangkul Uta. Semakin lama, semakin erat. “Bapak tahu kau pasti jadi anak sukses,” kata Bapak.
“Jangan beban, kau lakukan yang terbaik saja,” kata Bapak sambil memeluk Uta.
----
Uta terbangun dengan badan berkeringat. Haaah, matanya pun basah. Ia ternyata menangis dalam mimpinya.
“Bapak memang tak pernah menyerah,” kata Uta. Ia segera menatap fotonya, Ibu, dan Bapak yang ia letakkan di atas meja belajar. Pusingnya sudah hilang. Besok ia bisa bersekolah.
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR