Dahulu kala, hiduplah seorang ratu yang sudah tua bernama Ratu Alda. Suaminya telah meninggal. Ia mempunyai seorang putri cantik bernama Amara. Suatu ketika, Ratu Alda membuat perjanjian dengan sahabatnya, Raja Frederick yang tinggal di kerajaan negeri seberang.
Raja Frederick mempunya putra tunggal bernama Pangeran Rambert . Ratu Alda dan Raja Frederick berjanji akan menikahkan Putri Amara dengan Pangeran Rambert , walau anak-anak mereka itu belum pernah bertemu.
Ketika waktu untuk pesta pernikahan sudah dekat, Ratu Alda jatuh sakit. Ia tak bisa mengantarkan putrinya. Sesuai kebiasaan di kerajaan itu, calon pengantin perempuan harus berangkat ke tempat calon pengantin pria.
Dengan berat hati, dan dengan tubuh yang lemah, Ratu Alda berusaha menyiapkan segala kebutuhan putrinya. Ia mengemasi banyak peralatan rumah tangga dari emas untuk sang putri.
Ratu Alda juga memilih seorang pelayan bernama Neida untuk menemani Putri Amara. Neida adalah anak perempuan dari pelayan tua kesayangan Ratu Alda.
Putri Amara juga diberikan seekor kuda gagah yang bisa berbicara, bernama Falada. Neida diberikan seekor kuda biasa untuk membawa berbagai peralatan emas untuk Putri Amara.
Ketika saatnya akan berpisah, Ratu Alda menusuk jarinya dengan jarum. Ia membiarkan tiga tetes darahnya jatuh ke sehelai saputangan putih. Ia lalu memberikannya kepala puterinya dan berkata, “Anakku, simpanlah saputangan ajaib ini. Saputangan ini akan menemanimu di perjalanan. Kalau sesuatu terjadi, bicaralah pada saputangan ini, maka aku bisa mendengarnya…” kata Ratu Alda.
Setelah saling berpelukan sedih, merekapun berpisah. Sang putri menyelipkan saputangan itu di pita yang melingkari pinggangnya. Ia menaiki kuda dan memulai perjalanan bersama pelayannya.
Di tengah jalan, Putri Amara mulai merasa kehausan. Ia berkata pada Neida, pelayannya, “Tolong ambillah cangkir emasku yang ada di tas peralatan makan. Ambilkan aku air dari sungai, karena aku ingin minum."
Neida tampak jengkel. Sifat aslinya yang iri hati, baru terlihat. "Jika kau haus," kata Neida, "Turunlah sendiri dari kudamu, dan minumlah langsung dari air sungai. Di perjalanan ini, aku tidak mau menjadi pelayanmu."
Karena sangat haus, sang putri pun turun. Neida tak mau memberikannya cawan emas untuk sang putri minum. Maka Putri Amara pun membungkuk di atas air sungai dan menciduk air dengan tangannya, lalu minum. Dengan sedih Putri bergumam, "Ah, teganya…"
Tiga tetes darah di saputangan pemberian Ratu Alda menjawab, "Jika ibumu tahu hal ini, hatinya pasti akan sangat sedih!”
Namun putri Amara sangat rendah hati. Ia tidak menceritakan apa pun pada saputangan itu, karena tak ingin ibunya khawatir. Ia segera naik ke kudanya lagi. Mereka pun meneruskan perjalanan.
Menuju Dua Dekade, National Geographic Indonesia Gelar Pameran Foto Sudut Pandang Baru Peluang Bumi
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR