Pernahkah kamu mendengar soal buah maja? Konon, buah maja ini yang menginspirasi nama kerajaan besar Majapahit, kerajaan besar di Jawa. Nah, di Sumba pohon maja ini juga ada banyaaak sekali. Aku mendengar kisahnya dari seekor burung kecil.
Alkisah, ada sebutir benih mungil di tanah yang tidak terlalu subur. Namanya benih Maja. Kasihan sekali Si Maja, ia bagaikan terperangkap dan kelaparan di tanah yang kering.
Maja kecil itu menangis diam-diam. Sedih sekali hatinya harus menderita seperti itu. Karena lemas tanpa makanan yang cukup, ia merasa sangat mengantuk. Matanya sudah hampir terpejam. Namun, tiba-tiba suatu suara menyapanya.
“Jangan tertidur, benih kecil. Ayo, berusaha lagi serap makanan di sini. Memang cuma sedikit, sih, tapi berusahalah,” ujar Bibi Ubi.
“Negeri di atas tanah indah sekali, lo. Kalau kamu bisa bertahan, kamu bisa melihat langit yang biru, dedaunan hijau, udara segar, pelangi,” tambahnya lagi.
“Ah, dan suara burung itu begitu merdu, Nak. Kakek suka sekali mendengarnya,” ucap Kakek Wortel dari sebelah kirinya.
“Lalu saat nanti kau sudah berbuah, manusia akan memakan buahmu dan memuji rasanya. Wuah… kalau itu terjadi, aku senang sekali! Aku merasa perjuanganku untuk tumbuh besar tidak sia-sia. Kita beri makan manusia dan manusia yang bebas bergerak dan punya akal akan membantu merawat kita, langit, dedaunan, dan semua hal cantik di Bumi,” lanjut Paman Jagung.
Langit? Daun? Pelangi? Burung? Manusia? Maja tidak pernah mendengar soal itu. Bibi Ubi, Kakek Wortel, dan Paman Jagung dengan sabar menerangkan kepadanya. Tuan Cacing yang baik hati juga mampir dan membantu sedikit menggemburkan tanah di sekitar benih kecil itu, membuat ia bisa bernafas lebih lega. Ah, semua itu membuat Maja bertekad untuk terus tumbuh dan tumbuh.
Namun, betapa susahnya! Alam tahun itu amat tidak bersahabat. Musim hujan itu hawanya dingiiiiin sekali. Tuan Cacing tidak pernah lagi berkunjung. Ia meringkuk di dalam lubangnya. Paman Jagung, Bibi Ubi, dan Kakek Wortel berusaha bertahan, tetapi akhirnya mereka pun menghembuskan nafas terakhir. Mereka berpesan kepada Maja untuk terus bertahan. Maka Maja kecil harus bertahan sendirian dalam kesepian.
Akhirnya musim hujan berhenti. Maja senang sekali mendapati dirinya mulai bertunas. Lalu, musim panas tiba, tetapi ooh… hawanya panaaaas sekali. Tanah di sekitar benih mungil itu tidak subur sama sekali. Kering, meranggas, meretak, dan seperti berkapur. Namun, Maja terus berusaha bertahan. Diaturnya pasokan makanan yang hanya sedikit itu agar tunasnya bisa bertahan hidup dan bertumbuh tinggi dan tinggi menembus tanah.
Saat akhirnya Maja menembus tanah, semilir angin membelainya. Dunia memang seindah yang diceritakan teman-temannya dulu. Langit indah membiru. Awan putih menggumpal. Dan cahaya keemasan matahari meneranginya. Tanpa terasa air matanya menetes penuh haru.
“Piap piap…” Seekor burung kecil hinggap dan berkicau di sampingnya. Maja itu merasa hatinya hangat. Ia dan burung kecil itu segera bersahabat. Hari itu semuanya begitu indah dan menyenangkan.
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Sylvana Toemon |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR