“Jika upah kami perlu ….” belum selesai Pak Husen bicara, sudah disela oleh Pak Rida.
“Upah kalian adalah hak kalian. Tidak perlu sedih. Rezeki sudah ada yang mengatur. Tinggal tunjukkan usahanya,” kata Pak Rida bersemangat.
Semua pekerja semakin menyanyangi Pak Rida. Mereka tidak rela kalau Pak Rida difitnah seperti ini bahkan sampai harus merugi. Akhirnya, semua pekerja sapakat untuk mencari tahu siapa pelaku di balik semua ini.
“Lihat ini, kertas ini sama persis seperti kertas di kebun karet Pak Kalio,” kata Pak Kandar.
“Yah, kalau kertas putih sih dimana-mana juga ada Kandar,” jawab Pak Husen. Semua pun mengangguk.
“Hei! Lihat siapa yang kubawa,” kata Pak Bani yang baru datang. “Preman ini yang menyebar selebaran itu. Ngaku kamu!” bentak Pak Bani.
“Iiiiyaaa, maaf. Saya diminta Ranggi, anak buahnya Pak Kalio,” kata preman itu.
“Tuh kaaaan….!!!” semua pekerja bersorak. Mereka pun membawa preman itu ke hadapan Pak Rida.
“Jadi benar, kamu diminta menyebarkan selebaran itu?” tanya Pak Rida.
Preman itu mengangguk.
“Baik, kita sudah tahu pelakunya. Namun, tak baik jika kita balas dengan tindakan yang negatif juga. Saya sedang berpikir, bagaimana cara menunjukkan kepada pelanggan kalau kualitas karet kita tidak buruk seperti yang diberitakan di selebaran ini,” kata Pak Kandar.
Semua pekerja ikut berpikir.
“Kami punya ide! Bagaimana kalau kita kirimkan paket ke para pelanggan berisi contoh karet beserta rekaman proses pengolahan karet. Jadi, pelanggan tahu kalau karet kita bagus. Bagaimana?” kata Pak Husen dan Pak Kandar bergantian.
“Hmmm… benar juga!” kata Pak Rida.
Mereka pun membuat berbagai kemasan yang unik untuk menyebarkan informasi bahwa karet di kebun Pak Rida kualitasnya baik, tidak seperti yang diberitakan.
Cara itu berhasil. Semua pelanggan yang sempat ragu membeli karet di kebun Pak Rida kembali percaya dan meneruskan perjanjian membeli karet.
“Kalian semua hebat!” kata Pak Rida.
“Bapak lebih hebat. Baik sekali hatinya,” kata para pekerja.
“Masih bisa sabar padahal orang lain jahat,” tambah Pak Kandar.
Mereka pun bersorak bersama merayakan kembalinya para pelanggan karet.
Bagaimana dengan Pak Kalio?
“Bos, gaji saya mana?" tanya Ranggi
"Gaji apa? Saya sudah bangkrut! Bangkrut sudah bangkrut kita Ranggi!” kata Pak Kalio sambil marah-marah.
Ternyata, perlahan-lahan kebun karet Pak Kalio tidak lagi hijau. Banyak pohon karet yang mati, tidak ada pembeli, lahan karet yang awalnya luas sekali menjadi tidak bernyawa lagi. Perlahan-lahan Pak Kalio pun tidak punya uang dan jatuh miskin. Itu terjadi karena kecurangan yang ia lakukan sendiri.
Teks: Putri Puspita
Foto: Creative Commons
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR