Bobo.id - Teman-teman, apakah kamu suka mengonsumsi makanan dan minuman manis, seperti boba tea, minuman bersoda, buah kaleng, dan sebagainya?
Kalau ya, segera kurangi konsumsi makanan dan minuman tersebut untuk kebaikan tubuhmu.
Pasalnya, gula tinggi tidak hanya berpengaruh untuk ginjal dan risiko diabetes, namun juga memengaruhi otak kita, lo.
Gula memang berfungsi untuk menambahkan energi pada tubuh, sehingga membuat kita semakin bersemangat.
Namun, jika gula yang kita konsumsi terlalu banyak, yang terjadi pada tubuh justru sebaliknya. Bukannya bertenaga, tubuh kita justru akan mengalami lemas dan tidak bersemangat.
Selain itu, peningkatan risiko penyakit akibat terlalu banyak mengonsumsi gula akan terjadi, contohnya penyakit jantung, hiperglikemia (kelebihan gula darah), dan kerusakan gigi.
Nah, jarang diketahui orang ternyata kelebihan gula juga bisa memengaruhi kinerja otak kita, teman-teman.
Ingin tahu bagaimana gula dan otak bisa terhubung? Yuk, cari tahu faktanya dari penjelasan berikut!
Efek Gula Berlebihan untuk Otak
Dilansir dari Science Alert, para ilmuwan Jerman telah menemukan bahwa otak kita secara aktif mengambil gula dari aliran darah.
Bukan neuron yang melakukannya, melainkan sel glia yang membentuk 90 persen dari total sel di otak.
Baca Juga: 7 Jenis Vitamin yang Membantu Otak Lebih Cepat Berkembang, Apa Saja?
Astrosit, bentuk khusus dari sel glia, mengambil kandungan gula untuk mengatur nafsu makan kita.
Astrosit ini adalah bagian dari sel glia yang jumlahnya lima kali lebih banyak daripada neuron.
Tugas astrosit yaitu membawa nutrisi ke jaringan saraf dan berperan dalam perbaikan otak dan sumsum tulang belakang.
Inilah mengapa orang dengan kelebihan berat badan akan merasa lapar terus menerus dan membutuhkan banyak gula.
Sebab, astrosit yang mengangkut gula ke otak juga mengatur seberapa banyak gula yang harus diserap oleh otak.
Menurut World Health Organization (WHO), standar konsumsi gula perhari adalah 25 gram atau sekitar 6 sendok teh.
Sayangnya, orang Indonesia mengonsumsi gula hingga mencapai 31 gram perhari, menurut Asosiasi Gula Indonesia pada 2015.
Sulit Fokus
Asupan gula yang berlebihan juga menyebabkan otak kita sulit untuk menerima informasi dan memikirkannya.
Ketika seseorang mengonsumsi terlalu banyak gula, maka kadar gula darah naik tiba-tiba dan kemudian turun.
Ketika gula darah turun inilah otak menjadi terasa sulit fokus. Menurut ahli, pengendalian kadar gula darah yang buruk berisiko menganggu kerja otak.
Baca Juga: 6 Kebiasaan Sederhana yang Sehatkan Otak, Salah Satunya Bermain Musik
Ketika tubuh terlalu banyak mengonsumsi gula, kita jadi merasa membutuhkan gula lebih banyak.
Ini disebabkan oleh beberapa hal, yaitu lidah yang terbiasa dengan rasa manis dan pengaruh gula yang memengaruhi hormon di tubuh.
Karena terbiasa merasakan manis dari makanan dan minuman mengandung gula, lidah kita menjadi tidak peka terhadap rasa manis.
Risiko Alzheimer
Dilansir dari Livescience, alzheimer merupakan gangguan otak progresif yang menyebabkan masalah memori, pemikiran, dan perilaku pada orang tua.
Sinonim dari Alzheimer adalah demensia, yang sama-sama merupakan kondisi kehilangan memori dan fungsi kognitif pada orang tua.
Tahukah kamu, ternyata konsumsi gula sehari-hari berhubungan dengan risiko penyakit alzheimer, lo.
Menurut National Geographic, peneliti dari Universitas Bath, Inggris, menemukan fakta bahwa kelebihan glukosa dapat merusak enzim penting di otak.
Padahal, enzim tersebut yang merespons peradangan pada tubuh kita.
Akibatnya terganggunya enzim tertentu ini, sel-sel otak lebih mudah mengalami peradangan yang bisa berujung pada Alzheimer.
Namun, penyakit akibat gula yang satu ini bisa masih membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk dapat memastikan keduanya benar-benar saling berhubungan.
---
Kuis! |
Berapa banyak standar konsumsi gula menurut WHO? |
Petunjuk: Cek halaman 2! |
Tonton video ini, yuk!
----
Ayo, kunjungi adjar.id dan baca artikel-artikel pelajaran untuk menunjang kegiatan belajar dan menambah pengetahuanmu. Makin pintar belajar ditemani adjar.id, dunia pelajaran anak Indonesia.
Source | : | Science Alert,livescience |
Penulis | : | Grace Eirin |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR