Bobo.id - Setiap hari kita berjumpa dengan Matahari yang memancarkan sinarnya. Apa sebenarnya Matahari itu?
Yap, Matahari adalah sebuah bintang yang mampu memancarkan cahaya dan memproduksi energi sendiri.
Sebagai pusat tata surya, ada banyak hal yang dapat terjadi pada Matahari. Salah satunya fenomena 'bintang jatuh'.
Di Bumi, bintang jatuh berarti meteor yang memasuki atmosfer Bumi dan terbakar. Kalau di Matahari, bagaimana?
Secara teknis, 'bintang jatuh' pada Matahari hanya istilah. Artinya, tidak ada bintang yang menjatuhi Matahari.
Lalu, apa yang dimaksud dengan fenomena bintang jatuh di atmosfer Matahari, Bo? Cari tahu bersama, yuk!
Bintang Jatuh di Atmosfer Matahari
Fenomena bintang jatuh adalah bola api yang diciptakan oleh fenomena yang disebut dengan hujan koronal.
Selama proses ini, plasma mendingin dan mengembun di korona, yakni lapisan luar atmosfer Matahari.
Suhu korona sendiri sangat tinggi karena terbakar di atas 1,1 juta derajat celcius, seperti disampaikan NASA.
Ketika kantong pendingin tiba-tiba terbentuk di korona, materi itu akan cepat mengembun jadi gumpalan plasma.
Baca Juga: Akan Terjadi Lebih Cepat, Apa Saja Dampak Badai Matahari Bagi Bumi?
Kesimpulannya, bintang jatuh Matahari adalah gumpalan plasma raksasa yang jatuh ke permukaan dengan kecepatan tinggi.
Di Bumi, sebagian besar meteor tidak sampai ke permukaan Bumi karena tebalnya atmosfer planet kita.
Namun, atmosfer Matahari yang disebut dengan korona, jauh lebih tipis sehingga gumpalan ini tetap utuh.
Sebab, garis medan magnet Matahari bertindak sebagai rel pemandu untuk membantu menyalurkan plasma ke bawah.
Ini artinya, bintang jatuh di atmosfer Matahari ini dapat mencapai permukaan Matahari secara utuh.
Hal ini menciptakan cahaya yang sangat cerah. Namun, cahaya cerah ini hanya terjadi beberapa saat atau sangat singkat.
Fenomena Hujan Koronal
Sulitnya meneliti langsung Matahari, membuat fenomena di dalamnya masih misteri, termasuk hujan koronal.
Namun, para ilmuwan terus meneliti menggunakan data dari Solar Orbiter Badan Antariksa Eropa hingga mendapat penemuan.
Dilansir dari Live Science, Solar Orbiter hanya berjarak 49 kilometer ketika mengamati pembentukan hujan koronal.
Meski masih terlihat jauh, faktanya ini adalah salah satu yang paling dekat dengan satelit apa pun yang sampai ke Matahari.
Baca Juga: Fenomena Aphelion Disebut Bikin Suhu Bumi Lebih Dingin, Benarkah?
Data Solar Orbiter itu menunjukkan bahwa bola plasma padat ini bisa mencapai jarak hingga 700 kilometer.
Apabila bola plasma menjadi terlalu berat, maka mereka bisa jatuh ke permukaan Matahari, teman-teman.
Jika manusia bisa berdiri di permukaan Matahari, maka kita akan melihat bintang yang cukup menakjubkan.
Seorang astronom bernama Patrick Antolin juga menyebut bahwa manusia tetap harus berhati-hati dengan kepalanya.
Dapat Lakukan Penelitian Lebih Lanjut
Adanya data Solar Orbiter membuat banyak ilmuwan lebih semangat mempelajari hujan koronal dan fenomena lain.
Apalagi, fenomena bintik matahari, semburan matahari, dan letusan plasma banyak dibicarakan akhir-akhir ini.
Hal ini karena Matahari sudah mulai bersiap untuk periode aktivitas puncaknya, yang dikenal sebagai maksimum Matahari.
Beberapa astronom juga memperkirakan maksimum Matahari akan datang lebih cepat dan lebih keras.
Berdasarkan perkiraan NASA sebelumnya, maksimum Matahari ini akan berpotensi tiba pada akhir tahun 2023.
Nah, itulah informasi lengkap tentang 'bintang jatuh' di atmosfer Matahari. Semoga bisa menjawab rasa penasaranmu, ya.
Baca Juga: Fenomena Alam yang Hanya Ada di Kutub, Matahari Bisa Terlihat Tengah Malam
----
Kuis! |
Apa yang dimaksud dengan Matahari? |
Petunjuk: cek di halaman 1! |
Lihat juga video ini, yuk!
----
Ingin tahu lebih banyak tentang pengetahuan seru lainnya, dongeng fantasi, cerita bergambar, cerita misteri, dan cerita lainnya? Teman-teman bisa berlangganan Majalah Bobo.
Untuk berlangganan, teman-teman bisa mengunjungi Gridstore.id.
Ikuti juga keseruan rangkaian acara ulang tahun Majalah Bobo yang ke-50 di majalah, website, dan media sosial Majalah Bobo, ya! #50TahunMajalahBobo2023
Source | : | Live Science |
Penulis | : | Fransiska Viola Gina |
Editor | : | Sarah Nafisah |
KOMENTAR