Kisah Cincin dan Ikan

By Vanda Parengkuan, Sabtu, 24 Maret 2018 | 04:00 WIB
Kisah Cincin dan Ikan (Vanda Parengkuan)

(Bag.1)

Di bagian utara Inggris, di Yorkshire, hiduplah seorang bangsawan bernama John dan bergelar Baron. Ia punya kastil  yang bagus dan banyak teman para bangsawan kaya dan terhormat. Setiap pagi, Baron berkuda keluar dari  daerahnya untuk berburu. Namun pada malam hari, saat semua orang tidur, ia akan duduk dan belajar ilmu-ilmu meramal dari buku-buku kuno. Ia bisa dibilang seorang peramal juga.

Berjam-jam Baron akan menghitung semua yang akan terjadi di dunia ini. Peperangan, perdamaian, kelahiran orang penting, dan sebagainya. Ia membaca buku-buku aneh itu dengan hanya diterangi lampu lentera.

Baron memiliki seorang putera berusia 5 tahun bernama Henri. Ia sangat menyayangi putera satu satunya itu, apalagi setelah kematian istrinya. Baron ingin sekali hidup Henri kelak hidup bahagia, dan bisa mendapatkan istri dari keluarga kaya raya. Bahkan, Baron berharap Henri bisa menikahi puteri raja sehingga kelak Henri bisa menjadi raja yang menguasai kerajaan. Baron sangat ingin tahu, siapa yang kelak akan menikah dengan anaknya.

Suatu malam, Baron mempelajari buku-buku ramalan sepanjang malam. Setelah membuat hitungan-hitungan, akhirnya ia mendapatkan jawaban tepat pada saat fajar menyingsing. Baron sangat sedih, karena ternyata, menurut ramalan, Henri akan menikah dengan putri seorang pria miskin yang rendah hati, yang tinggal di daerah Minster di kota York.

Baron tak ingin percaya pada hasil ramalannya sendiri. Ia kembali menghitung dengan rumus-rumus dari buku ramalan. Ia mencoba mencari kesalahannya sendiri. Namun hasilnya tidak berubah.

Pagi itu, walau sudah sangat lelah, Baron tak bisa tidur dan tak selera makan. Akhirnya, ia pergi keluar rumah, dan berkuda ke kota York.

Ketika Baron tiba ke daerah Minster, ia melihat seorang pria tua di luar pondok. Pria itu tampak sangat sedih. Baron segera menghampirinya.

“Pak, kenapa kau terlihat sedih?” tanya Baron.

Pria tua itu menatap Baron, lalu menjawab sedih, “Aku punya 5 orang anak. Dan sekarang, istriku punya bayi perempuan lagi. Aku tak tahu harus mencari uang dimana untuk memberi mereka makanan dan pakaian. Aku sangat miskin dan aku takut tak bisa mendapat pekerjaan yang baik.”

Baron tercenung mendengarnya.

“Oo…, pastilah bayi perempuan itu yang kalau besar nanti, akan menikah dengan anakku. Aku tak akan membiarkan Henri menikahi wanita dari keluarga orang miskin ini!” pikir Baron.  Ia lalu pura pura baik hati dan tersenyum.

“Pak Tua,” kata Baron, ”Aku akan melakukan kebaikan untukmu. Berikan saja anakmu yang baru lahir itu untukku. Aku akan bawa ke rumahku dan memeliharanya dengan baik.”

 Pak Tua dan istrinya sebetulnya tak ingin kehilangan anak mereka. Namun mereka tak punya pilihan. Itulah cara terbaik agar puteri bungsu mereka bisa hidup denagn baik.

Dengan tangis dan airmata, Pak Tua dan istrinya menyerahkan puteri mereka pada Baron. Mereka yakin, tak mungkin salah dalam mengambil keputusan itu. Baron lalu membawa bayi itu ke kota York. 

 Baron mengendarai kudanya, melewati lembah dan sungai. Hatinya menjadi marah sekali setiap kali melihat bayi di dalam gendongannya. Akhirnya, ia lalu turun dari kudanya dan membawa bayi itu ke tepi sungai. Baron meletakkan bayi itu di sebuah dahan besar yang mengapung. Bayi itu pun terbawa arus sungai.

“Tak akan kubiarkan putraku menikah dengan orang miskin. Dia harus dapat istri yang lebih baik. Aku bisa menggagalkan ramalanku sendiri,” pikir Baron. Ia naik ke kudanya lagi dan pulang ke kastilnya.

Akan tetapi, bayi perempuan itu sungguh bernasib baik. Tak lama setelah dahan itu membawanya hanyut, dahan itu tersangkut di sebatang kayu di tepi sungai. Bayi perempuan itu tidak basah dan tidak kedinginan karena ia tidur nyenyak di atas dahan besar.

Tak jauh dari sana, ada seorang nelayan miskin yang tinggal di pondok kecil. Namanya Pak Aldwin. Ia sedang mencari ikan di sungai di dekat pondoknya. Hari itu, Pak Aldwin belum mendapatkan seekor ikan pun. Ketika ia memutuskan untuk pulang, tiba-tiba melihat seorang bayi di dahan yang tersangkut di tepi sungai.

“Sungguh aneh hasil tangkapanku hari ini,” gumamnya sambil menarik bayi itu dan menggendongnya.

Pak Aldwin melepas syal basah yang membungkus bayi itu, lalu membungkusnya dengan bajunya sendiri yang kering. Ia lalu buru-buru membawa bayi itu pulang karena takut kalau si bayi sakit. Namun, bayi itu ternyata sangat sehat.

Nelayan yang baik hati itu serta istrinya lalu merawat bayi bagai anak mereka sendiri. Mereka memberinya nama Margareth. Bayi perempuan itu tumbuh menjadi gadis yang ceria, pandai dan cantik sekali.

(Bagian 2)

Enam belas tahun pun berlalu. Kini Henri, putera sang Baron, sudah tumbuh besar dan tampan. Ia berusia 21 tahun.  Anak itu tidak suka diam di kasttil. Ia suka berkelana ke kota-kota dan kadang berminggu-minggu dan bulan tinggal di tempat pamannya di Scarborough, di tepi pantai.

Baron kadang berpikir, sudah waktunya untuk puteranya mencari istri. Namun, karena ia semakin tertarik pada ilmu meramal, kadang ia tak ingat, dimana anaknya berada.

Suatu hari, Baron pergi berkuda dengan teman-temannya dan mereka tersesat di hutan. Hari sangat panas dan mereka kehabisan persediaan air. Mereka akhirnya tiba di pondok nelayan, dan melihat  Margareth duduk di depan pintu. Gadis cantik itu sedang menyiapkan sayuran untuk makan malam.

Baron dan teman-temannya turun dari kuda.

“Apakah kami bisa mendapatkan air?” tanya mereka.

Dengan ramah, Margareth mempersilakan mereka duduk dan ia pergi mengambilkan air. Pak Aldwin si nelayan dan istrinya keluar menyambut mereka juga dengan ramah.

“Puteri anda sangat cantik. Apakah dia sudah menikah?” tanya salah satu teman Baron.

“Atau, kau sudah punya tunangan?” tanya teman Baron yang lain pada Margareth.

Gadis cantik itu tersenyum malu dan berkata, “Belum. Kami ini orang miskin. Aku harus membantu kedua orangtuaku mencari nafkah. Tak ada waktu memikirkan pernikahan.”

Bangsawan sahabat Baron tertawa dan berkata, “Andai aku punya anak lelaki, pasti sudah aku jodohkan denganmu.”

Bangsawan itu lalu melihat ke  arah Baron dan berkata, 

“Kau kan pandai meramal. Kau bisa membaca misteri, dan memberi tahu keberuntungan orang lain. Coba kau ramal. Pria seperti apa yang akan menikahi gadis secantik Margareth ini?”

Baron sangat terkejut.

“Aku bukan peramal. Jangan suruh aku meramal nasib!”

Akan tetapi, teman-temannya terus memaksa Baron untuk meramal nasib Margareth. Akhirnya Baron berkata,

“Baiklah, baiklah! Aku akan mencoba meramal jodohnya. Tapi, aku harus tahu tanggal lahir Margareth.”  

Pak Aldwin dan istrinya saling pandang dengan bingung. Mereka akhirnya menceritakan rahasia mereka.

“Sebetulnya, Pak…” kata Bu Aldwin. “Margareth bukanlah anak kandung kami. Kami menemukannya tepat 16 tahun yang lalu.”

“Ya,” kata Pak Aldwin. “Aku menemukan Margareth yang malang ini, mengambang di sungai beberapa kilometer dari pondok kami.”

“Sungai mana?” tanya Baron. Tak ada yang memerhatikan betapa pucatnya wajah Baron saat itu, dan betapa pelan suaranya.

Pak Aldwin menyebut nama sungainya.

“Berapa bulan usianya ketika dia ditemukan?” tanya Baron lagi.

“Mungkin baru beberapa hari usianya,” jawab Bu Aldwin.

Baron tak bisa mengatakan apa-apa, karena ia tahu itulah gadis yang menurut ramalan akan menikah dengan anaknya. Ia sudah mencoba menyingkirkannya 16 tahun lalu, namun bayi itu sudah dewasa sekarang. Bu Aldwin datang membawa syal abu-abu panjang.

“Ini syal yang membungkus bayi yang ditemukan suamiku,” katanya. “Aku tidak tahu dari mana asal Margareth. Tapi pola rajutan syal ini adalah pola yang biasa dirajut seorang ibu dari York untuk bayinya. Aku tahu karena adik ku juga ada yang tinggal di York.”

Baron lalu minta kertas dan tinta pada temannya. Ia duduk di kursi di luar pondok dan menulis sehelai surat. Ia menutup amplop surat dan memberikannya pada Margareth.

“Ini,” katanya. “Aku suka padamu dan aku akan memberikanmu keberuntungan. Bawalah surat ini ke Scarborough. Adikku yang menerima surat ini akan menjagamu. Ini  uang untuk kau pakai di jalan. Semoga kau beruntung dan bisa kembali ke orangtuamu dengan selamat setelah kau sudah mendapat keberuntungan.”

Margareth dan orangtua angkatnya sangat gembira atas tawaran itu. Mereka sangat berterimakasih. Baron dan teman-temannya lalu pergi lagi melanjutkan perjalanan.  

Besoknya, Margareth pergi ke tempat adik  Baron di Scarborough dengan membawa surat dari Baron. Ia melewati padang rumput, lembah, tetapi tetap masih jauh dari Scarborough ketika malam tiba. Margareth terpaksa harus bermalam di sebuah penginapan di desa.   

Di penginapan itu,  ternyata ada dua orang perampok yang menginap. Mereka di situ sebetulnya mengincar tamu kaya yang mungkin menginap. Ketika melihat Margareth, mereka menunggu sampai Margareth tertidur. Mereka lalu masuk ke kamarnya untuk mencuri barang-barang berharga.

Akan tetapi, mereka malah menemukan surat dari Baron untuk adiknya. Karena mengira itu surat berharga, mereka membawa surat itu ke kamar mereka. Dengan cahaya lilin, mereka membaca surat itu.

Adikku,

Setelah membaca surat ini, kurunglah gadis ini di tempat yang sulit untuk ditemukan. Gadis ini berbahaya bagi keluarga kita, juga bagi Henri puteraku. Dari saudaramu tercinta, John.

Kedua pencuri itu menjadi jatuh kasihan pada Margareth yang miskin.

“Memalukan sekali!” kata mereka. “Aku rasa, gadis itu tidak bersalah. Orang ini jahat sekali kalau mau mengurung gadis tanpa dosa.”

Mereka lalu mengambil bolpen dan tinta, lalu menulis sehelai surat lain dan memasukkannya ke dalam amplop lalu menutupnya. Mereka lalu kembali ke kamar Margareth yang masih tidur, dan meletakkan surat itu di tempat semula.

Keesokan paginya, Margareth bangun tanpa tahu apa yang terjadi tadi malam. Ia membayar penginapan dan pergi ke Scarborough. Siang harinya ia tiba di kota dan menemukan rumah adik  dari Baron.

Kebetulan, Henri, putera Baron kini sudah berusia 21 tahun, sedang menginap di rumah pamannya itu. Ketika melihat Margareth yang cantik masuk ke halaman rumah, ia segera menghampirinya.

“Hai, kau ingin mencari siapa?” sapa Henri ramah.

Mereka lalu berkenalan. Margareth menceritakan maksud kedatangannya. Henri segera membawa Margareth bertemu dengan pamannya. Margareth pun memberikan surat itu pada adik  Baron.

Adik  Baron membuka surat dan membacanya,

Adikku tersayang,

Terimalah gadis pembawa surat ini. Nikahkanlah dia dengan puteraku. Dia gadis yang sangat baik dan perlu perlindunganmu. Saudaramu tercinta, John.

Adik Baron sangat terkejut membacanya, tetapi ia tahu, kakaknya memang aneh. Ia juga agak takut pada kakaknya yang punya kemampuan meramal bagai penyihir.   

(Bagian 3)

Adik Baron lalu mengamati, sepertinya Henri sudah akrab dengan Margareth. Ia lalu menyiapkan pesta pernikahan antara Henri dan Margareth.

Sementara itu, Henri dan Margareth menghabiskan hari-hari mereka dengan berjalan-jalan di pantai dan kebun bunga. Keduanya sangat cocok ketika bercakap-cakap.

Sebaliknya, ketika kembali ke kastilnya, Baron sangat terkejut.  Ia menerima surat dari adiknya di Scarborough yang mengabarkan bahwa ia sudah melaksanakan perintah Baron. Yaitu, menyiapkan pernikahan antara Henri dan gadis cantik pembawa surat.   

Baron seketika pucat dan tahu telah terjadi kesalahan. Terpaksa ia keluar lagi dari kastilnya, mengendarai kudanya dan pergi ke rumah adiknya.

Ketika tiba di halaman rumah adiknya, Baron melihat persiapan pernikahan. Ada yang membawa makanan, keranjang bunga, dan minuman sari buah-buahan. Bunyi musik terdengar dari jendela rumah. Ia masuk ke rumah itu dengan marah.

“Dimana gadis yang akan menikah dengan puteraku itu?” serunya.

Baron lalu melihat Margareth yang sudah mengenakan gaun pengantin. Baron semakin marah namun menenangkan dirinya. Ia berkata pada adiknya bahwa ia akan bicara dengan Margareth sebelum upacara pernikahan.

 Baron lalu membawa Margareth dengan kereta kuda menuju ke luar kota. Akhirnya, sampailah mereka di tepi jurang. Sekali lagi, Baron ingin menentang ramalan tentang gadis yang ditakdirkan menjadi istri Henri.

Margareth yang malang tak tahu apa yang terjadi. Baron membawanya semakin ke tepi jurang. Margareth mulai mengerti apa yang akan dilakukan Baron. Ia sangat ketakutan.

“Oh, tolonglah… jangan lempar aku ke jurang. Aku tak akan bertemu Henri lagi.  Aku tidak menyakiti seorangpun. Tolong jangan sakiti aku. Aku akan pergi dan tak kembali lagi ke negerimu…” tangis Margareth.

Melihat tangis Margareth, Baron mulai menjadi tenang dan membebaskan gadis itu. Namun ia melihat Margareth sudah memakai cincin miliknya. Pastilah Henri yang memberikannya. Baron segera menarik cincin itu dari jari Margareth dan melemparkannya ke laut. Cincin itu berkilau sejenak sebelum tenggelam di laut.

“Margareth,” kata Baron. “Aku akan membiarkanmu pergi. Jangan sampai aku melihatmu lagi. Tapi, jika kau bisa memperlihatkan cincin yang kubuang tadi, aku akan merestui pernikahanmu dengan Henri, putraku!”

Baron tertawa lalu pergi dengan kereta kudanya, meninggalkan Margareth sendirian di tepi jurang.  Baron kembali ke rumah adiknya  dan berkata padanya bahwa pernikahan Henri dibatalkan, karena Margareth telah lari kembali ke rumahnya.  

Adik Baron dan Henri bingung mendengar cerita Baron. Namun mereta tak berani bertanya karena tahu itu tak ada gunanya.  

Sementara itu, Margareth masih menangis tersedu-sedu memikirkan nasibnya yang malang. Namun, ia tak mau menyerah. Ia tidak kembali ke pondok orangtuanya. Ia melangkah dari tepi jurang, kembali ke jalan utama. Margareth terus berjalan dan menemukan kastil seorang bangsawan bernama Cadman.

Margareth bekerja sebagai pelayan di kastil Pak Cadman di kastilnya yang indah. Kini ia selalu sibuk di dapur, Pak Cadman sering membuat pesta untuk tamu-tamunya.

Pak Cadman sangat menyayangi Margareth karena ia sangat pandai memasak. Ketika tinggal di pondok keluarga Aldwin, ayah dan ibu angkatnya itu sudah mengajarinya cara memasak daging, ikan, dan sayuran. Margareth bekerja keras di kastil itu dan sangat gembira. Kesedihannya karena berpisah dengan Henri yang baik hati, mulai hilang. 

Suatu hari, ia sibuk membersihkan seekor ikan besar di kastil dapur. Ikan itu akan dihidangkan untuk tamu-tamu, para pemburu sahabat Pak Cadman. Salah satu tamu yang diundang ternyata Baron dan puteranya, Henri.

 Saat itu,  para tamu sedang menikmati daging dan kue kue. Margareth di dapur masih sibuk membersihkan ikan yang akan dihidangkan sebagai hidangan puncak. Matanya tiba-tiba membelalak ketika membuka perut ikan. Ia melihat ada benda kecil keemasan yang berkilau.

Ia mengambil benda itu, mencuci di air besih dan membawanya ke jendela untuk melihat dari dekat. Ternyata, itu adalah cincin… Cincin yang diberikan Henri padanya. Cincin yang direbut oleh Baron dan dibuang ke sungai Scarborough.

Margareth memasukkan cincin itu ke sakunya. Setelah selesai memasak, ia memasukkan ikan ke oven. Ia lalu mencuci tangannya dan memakai cincin itu dengan hati-hati di jarinya.   

Sementara itu, para tamu bergembira menikmati makan malam yang sangat lezat. Baron berharap Henri bisa berkenalan dengan salah satu gadis bangsawan di pesta itu. Namun Henri tak tertarik.

Tak lama kemudian, makanan lezat utama yang mereka tunggu, akhirnya keluar juga. Sekor ikan utuh yang dilapisi saus khusus dan rempah-rempah yang wangi.

Para tamu tak pernah makan makanan seenak itu. Baron meminta Pak Cadman untuk memperkenalkan si juru masak karena ia ingin memuji kehebatan memasak juru masak Pak Cadman.

Dengan agak malu dan percaya diri, Margareth muncul di ruang utama. Pak Cadman memperkenalkannya pada Baron. Pertama, Baron tidak mengenal Margareth. Semua tamu pun terdiam  ketika melihat Margareth yang sangat cantik namun sederhana muncul dengan celemek dapur.

 Baron melihatnya dan segera tahu kalau gadis itu Margareth. Namun ia sangat kagum pada Margareth sehingga tak bisa marah. Lagipula, bagaimana ia bisa marah pada gadis cantik yang sedang dikagumi teman temannya.

“Masakanmu,” katanya pelan, “Rasanya sungguh-sungguh lezat bagai masakan para peri. Aku tak pernah makan makanan yang seenak tadi.”

Margareth menunduk memberi hormat. Baron mengambil tangan Margareth dan mengangkatnya. Ia menatap cincin di jari Margareth.

“Sangat senang bertemu denganmu lagi, Pak,” kata Margareth. “Ada sesuatu yang ingin aku kembalikan padamu…”

Margareth melepas cincin itu dan memberikannya pada Baron. Tanpa melihat lagi, Baron tahu kalau itu adalah cincinnya. Ia kini sadar, bahwa tak ada gunanya ikut campur dengan hal yang sudah seharusnya terjadi. Ia teringat akan pesannya saat berada di jurang di dekat Scarborough.

“Kau telah memberikan kembali apa yang menjadi milikku,” katanya. “Kalau kau masih ingin, aku akan kembalikan apa yang menjadi milikmu.”

Pak Cadman yang berdiri di dekat mereka berkata,

“Sepertinya, kau sangat mengagumi juru masakku. Jangan coba-coba mengambilnya, ya,” canda Pak Cadman.  

“Dia bukan juru masak,” kata Baron dengan suara jelas. “Dia bukan juru masak, tapi dia adalah istri yang telah ditetapkan alam untuk puteraku. Putraku, Henri. Apa yang sudah dijodohkan, tak dapat dipisahkan manusia.”

 Ia lalu memanggil Henri, dan mempertemukannya dengan Margareth. Tak lama kemudian, Margareth dan Henri berdiri penuh kebahagiaan saling menatap. Sementara para tamu melihat mereka dan ikut merasa bahagia.  

Sungguh kebahagiaan yang besar saat pernikahan berlangsung di kastil Baron. Setelah itu, Baron selalu memuji dan mengakui kalau tak ada istri yang lebih baik bagi putranya selain Margareth.

Teks: Dok. Majalah Bobo/Adaptasi dongeng Inggris