Steve merasakan ada benda berat dan berbulu menindih pundaknya. Taring yang tajam lalu merobek lengan Steve yang terangkat tak berdaya.
Steve terjatuh ke tanah dan berkelahi dengan sekuat tenaga dan heboh. Jaket Steve koyak menjadi seperti helai-helai pita. Dan taring makhluk itu ada di tenggorokan Steve. Di saat itu, tangan Steve sempat meraih pisau berburunya. Steve berhasil melukai makhluk berbulu itu.
Seketika, sosok berbulu itu melesat pergi, dan menghilang di kegelapan. Steve berdiri terhuyung-huyung kesakitan. Ellen segera memapah Steve.
"Apa itu?" tanya Ellen terguncang dan takut. Ia membawa Steve ke arah benteng.
"Hyena," jawab Steve. "Aku tahu dari baunya. Tapi aku tidak pernah mendengar ada hyena yang menyerang manusia seperti itu!”
Ellen bergidik. Di rumah peternakan, Ellen membalut luka di lengan Steve. Ia lalu berkata dengan tenang, “Steve, aku tidak akan pergi ke desa itu kalau kau tidak mengijinkan aku pergi.”
Sejak itu, Ellen tidak pernah lagi melanggar apapun yang dilarang Steve. Setelah luka di lengan Steve sembuh, mereka kembali berkuda di padang rumput di sekitar benteng.
Suatu hari, Ellen dan Steve berkuda jauh melewati padang rumput. Ellen menantang Steve untuk berpacu kuda. Kuda Ellen yang bagus, bisa melesat melewati kuda Steve, jauh di depan. Ia lalu berhenti di kejauhan dan tertawa sambil menunggu Steve.
Dia berhenti di dekat bukit dan menunjuk ke sekelompok pohon yang agak jauh.
“Aku tunggu di pohooon!” teriaknya, lalu memacu kudanya pergi.
“Elleeeen… jangaaan…” teriak Steve panik. Namun Ellen sudah jauh dan tidak mendengar suaranya.
Seketika Steve menjadi awas. Ia menyiapkan pistol di sarungnya. Lalu menarik pisaunya, dan menyembunyikannya ke dalam sepatu, sehingga benar-benar tersembunyi. Steve lalu memacu kudanya mengejar Ellen.
Steve dan Ellen mungkin baru setengah jalan ke arah pepohonan, ketika Senecoza dan sekitar dua puluh anak buahnya melompat dari ilalang tinggi. Salah seorang dari mereka menangkap tali kekang kuda Ellen, dan yang lainnya bergegas menghampiri Steve. Steve mencoba melawan saat ditarik turun dari kuda.
Sepintas, Steve melihat kuda Ellen mengamuk dan menendang anak buah Senecoza yang memegang tali kekang. Orang-orang itu terlempar ke belakang. Kuda Ellen pun melesat lari membawa Ellen. Senecoza langsung melompat ke atas kuda milik Steve dan mengejar Ellen. Keduanya semakin jauh dan menghilang dari pandangan Steve.
Anak buah Senecoza mengikat tangan dan kaki Steve, lalu membawanya ke sebuah gubuk dekat pepohonan. Gubuk itu hanya terbuat dari jerami dan kulit kayu. Steve bergidik melihat tempat itu. Itu adalah satu-satunya gubuk di tempat itu. Satu-satunya dan tersembunyi, jauh dari desa atau suku manapun. Steve menjadi ngeri. Apakah Senecoza begitu jahat, sehingga ia diasingkan oleh sukunya sendiri dan tinggal di tempat itu?
Anak buah Senecoza mendorong Steve sehingga ia terduduk di depan gubuk.
"Kalau Senecoza kembali dengan gadis itu, kalian berdua akan dikorbankan supaya Senecoza menjadi lebih sakti!” kata mereka sambil tertawa mengerikan.
Mereka kemudian pergi dari tempat itu. Hanya satu pemuda yang ditinggalkan untuk menjaga Steve agar tidak melarikan diri. Pemuda berkulit hitam itu berwajah tampan. Ia memegang senjata yang diarahkan ke Steve.
“Teman-temanku itu akan menyerang orang kulit putih seperti kamu!" ejek pemuda itu. “Mereka akan merampok ternak di peternakan milik orang Inggris itu!”
Steve terkejut. Itu artinya, anak buah Senecoza akan menyerang peternakan milik Pak Smith, pemilik peternakan tetangga Ludtvik. Pemuda itu terus mengoceh menceritakan rencana Senecoza. Mereka akan mengusir semua orang kulit putih sampai ke daerah pantai.
"Senecoza itu bukan sekedar pemuda gagah!” oceh pemuda itu. "Begini, orang kulit putih…" bisiknya sambil menunduk dan melirik ke sekeliling. “Kamu akan melihat keajaiban Senecoza…”
Steve nyeletuk, “Apakah dia dari suku Masai?”
"Bukan," jawabnya. "Dia Senecoza. Bukan dari suku manapun!”
"Senecoza tidak akan membunuh orang kulit putih," ejek Steve.
Pemuda itu melotot kejam. "Akan kupukul kau, orang kulit putih."
"Kau tidak akan berani!"
“Itu betul! Senecoza sendiri yang akan memberimu pelajaran!” akunya dengan marah.
Sementara itu, Ellen berkuda seperti orang gila. Ia berhasil lari dari Senecoza, namun tidak sampai ke tempat peternakan. Senecoza berhasil mendahului Ellen ke arah peternakan. Ellen terpaksa memutar kudanya ke arah padang rumput.
Ellen terus memacu kudanya. Namun kudanya lalu tersandung, sehingga Ellen terlempar dan jatuh ke rumput. Sebelum ia berhasil bangun, Senecoza berhasil menangkap dan mengikat tangan serta kakinya. Senecoza lalu membawa Ellen di atas kudanya.
Di saat itu, pemuda hitam anak buah Senecoza melepaskan ikatan di kaki Steve. Steve tahu, pemuda itu tidak mungkin melukainya, namun ia sengaja memberi kesempatan Steve untuk lari. Sebab jika Steve lari, ia bisa menembaknya tanpa dimarahi Senecoza.
Steve menggosok lengannya di bekas ikatan tali. Ia lalu membungkuk, pura-pura menggosok pergelangan kakinya. Anak buah Senecoza melangkah melihat ke sekeliling dengan senjata siap di tangan. Diam-diam Steve mengambil pisau yang ia sembunyikan di sepatunya. Pelan-pelan, ia gunakan pisau itu untuk membuka ikatan di tangannya. Kini tangan Steve telah bebas.
Di dekat situ ada tong kayu. Ketika anak buah Senecoza lengah, Steve mengambil tong itu dan memukul dia sampai pingsan. Kini giliran Steve yang mengikat tangan dan kaki pemuda itu, lalu menariknya ke tempat tersembunyi di balik semak-semak.
Steve mengambil senapan pemuda itu. Isi pelurunya tinggal sedikit. Ia harus mencari sepupunya, Ellen. Ia menduga Ellen pergi ke arah peternakan Pak Smith. Jadi, Steve harus pergi ke arah peternakan itu. Ia harus memberi tahu pekerja di peternakan itu juga bahwa ada prajurid suku Masai, anak buah Senecoza, yang akan menyerang mereka.
Anak buah Senecoza telah berada jauh di depan Steve. Bahkan saat itu mereka mungkin sedang merayap di sekitar peternakan tanpa diketahui pekerja peternakan. Saat sedang berpikir begitu, tiba-tiba terdengar derap kuda di belakangnya. Steve menoleh dan melihat kuda Ellen datang ke arahnya. Steve langsung menangkap tali kekangnya saat ia berlari melewati Steve. Kuda itu berhasil dihentikanya.
Steve berpikir, hanya ada dua kemungkinan yang terjadi. Ellen telah berhasil sampai di tempat yang aman, dan melepaskan kudanya untuk menjemput Steve. Atau, Ellen telah ditangkap, dan kudanya berhasil melarikan diri. Seperti kuda-kuda terlatih lainnya, kuda Ellen pasti akan kembali ke peternakan. Steve memeriksa pelana kuda Ellen yang tampak sobek. Hatinya ragu.
Akhirnya Steve melompat ke atas kuda dan memacunya ke peternakan Pak Smith. Tempat itu tidak begitu jauh. Jangan sampai Pak Smith terluka, pikir Steve. Dan ia juga harus menyelamatkan Ellen dari Senecoza.
Ketika sudah semakin dekat ke peternakan Pak Smith, Steve berhasil menyusul anak buah Senecoza yang akan merampok ternak. Ia melesat melewati mereka. Para pekerja di peternakan Pak Smith terkejut ketika melihat ada penunggang kuda datang ke benteng mereka.
“Ada suku Masaaaiii… ada suku Masaaaiii! Kalian diserang!” teriak Steve sekuat mungkin.
Saat itu juga, para pekerja di benteng itu bersiap dengan senjata mereka. Jadi, ketika anak buah Senecoza datang, mereka langsung menembakkan senjata mereka ke udara. Para perampok suku Masai itu seketika berbalik arah dan kembali memacu kuda mereka ke padang rumput.
Steve tak mau tinggal diam. Ia kembali memacu kudanya lagi. Ia tahu, mereka akan kembali ke pondok di antara pepohonan itu. Pondok tempat ia ditahan tadi.
Beberapa saat kemudian, jauh sebelum pondok itu terlihat, seorang penunggang kuda muncul dari rerumputan. Kudanya dipacu dari sudut yang berlawanan dengan arah Steve, sehingga kuda mereka bertabrakan dan tergeletak di tanah.
"Steve!" Itu adalah seruan kegembiraan bercampur dengan rasa takut.
Ellen terjatuh dari kuda dengan tangan dan kaki terikat. Steve buru-buru berdiri untuk membebaskan Ellen. Namun Senecoza yang terjatuh dari kuda juga, sudah berdiri dan bersiap dengan pisau panjang yang berkilau di bawah sinar matahari.
Steve dan Senecoza bertempur dengan ganas. Saling memukul dan menangkis. Senecoza melancarkan tendangan kuat ke arah Steve. Namun Steve yang awas, segera menangkap kakinya dan menarik sekuat tenaga. Senecoza terjatuh namun segera bangkit lagi. Ia dengan penuh amarah menyerang Steve. Namun Steve menangkap tangannya dengan gerakan kunci, dan melucuti pisaunya.
Sebelum Steve melancarkan serangan lagi, Senecoza melompat ke rerumputan tinggi dan menghilang dari pandangan Steve. Steve membiarkan ia pergi, dan segera menghampiri Ellen yang masih terbaring. Steve memotong tali yang mengikat tangan dan kakinya. Ellen langsung memeluknya dengan ketakutan dan lega.
“Sepupuku yang malang…” kata Steve sambil memeluk Ellen juga. Ia lalu membantunya naik ke atas kuda. “Kau harus segera pergi dari sini! Senecoza pasti punya senjata yang dia sembunyikan di antara semak-semak!” perintah Steve.
Baru saja Ellen akan menjawab, tiba-tiba terdengar letusan senapan. Sebuah peluru melesat di atas kepala Steve.
Steve segera menarik tali kekang kuda dan berteriak, “Cepat pergi ke peternakan! Anak buah Senecoza sudah aku usir dari sana. Kau pasti bisa sampai ke sana! Cepat, cepat, cepat!”
"Tapi kau, Steve!"
"Pergi! Pergi!" Steve menepuk kuda itu, sehingga kuda itu langsung lari meninggalkan tempat itu. Ellen menoleh dan melihat ke sepupunya dengan cemas.
Dengan senapan di tangan, Steve lalu masuk ke semak-semak. Ia dan Senecoza bagai bermain petak umpet di siang hari Afrika yang panas. Mereka merayap, menyelinap, masuk dan keluar dari semak-semak padang rumput. Kadang mereka berjongkok di rerumputan tinggi dan saling menembak.
Kini, Steve berjongkok diam dan mengamati dimana Senecoza bersembunyi. Pelurunya tinggal sedikit. Ia mendengar suara. Seperti suara tawa yang bukan dari antara rerumputan. Jauh di atas padang rumput, terdengar tawa jahat Hyena. Dan suara tawa itu semakin terdengar dekat.
Keringat dingin keluar di alis Steve.
Tiba-tiba, terdengar derap kaki kuda. Apakah anak buah Senecoza kembali lagi? Steve memberanikan diri mengintip dari balik rumput. Dan betapa gembiranya ia saat tahu siapa yang datang.
Sedikitnya ada dua puluh pria kulit putih dari peternakan. Dan di depan mereka, tampak Ellen menunggangi kuda. Mereka masih agak jauh. Steve melesat keluar dari balik semak dan melambaikan tangan untuk menarik perhatian mereka. Mereka berteriak dan menunjuk sesuatu di luar jangkauan Steve.
Steve berbalik dan melihat, sekitar tiga puluh meter darinya, seekor hyena besar menyelinap ke arahnya. Di antara rumput tinggi, hyena jadi-jadian Senecoza, mengintai dengan penuh dendam.
Steve tak mungkin bisa menembak tepat dengan jarak sejauh itu. Padahal pelurunya tinggal satu. Rombongan penyelamat masih jauh. Steve kembali menatap hyena yang mendekatinya. Dia bergerak mendekat tanpa ragu. Matanya berkilau mengerikan. Ada bekas luka di bahunya, menunjukkan itu adalah binatang yang sama dengan yang menyerang Steve sebelumnya.
Steve agak ngeri. Ia menyiapkan senapan tuanya lalu melepaskan tembakan, tepat pada saat hyena itu akan melompat menyerangnya. Terdengar teriakan mengerikan dari hyena itu. Hewan itu lalu berbalik dan lari kembali ke semak-semak.
Rombongan penyelamat dari peternakan akhirnya tiba.
"Steve! Kau sedang berburu ular, ya!" canda Ludtvik dengan suara gembira dari atas kudanya. Ia lega melihat Steve baik-baik saja.
Para pekerja peternakan lalu menyebar di padang rumput itu, mencari hyena Senecoza. Ludtvik dan Steve juga ikut meneliti jejak di tanah. Namun mereka tidak menemukan jejak kaki manusia.
Mereka menemukan sebuah senapan yang kosong. Pasti milik Senecoza. Dan di dekat senapan itu, tampak jejak kaki hyena. Ini sungguh aneh. Steve merasakan bulu kuduknya berdiri. Steve, Ludtvik dan para pekerja saling pandang dan tidak berkata sepatah kata pun. Semua sepakat mencari mengikuti jejak hyena itu. Sepertinya hyena itu terluka. Semua mengikuti jejaknya, keluar dan masuk ke rerumputan setinggi bahu.
“Sepertinya hyena itu menuju ke pondok dekat pepohonan sana!” kata Steve.
“Ini betul-betul misteri,” kata Ludtvik. Ia melarang Ellen ikut sampai ke pondok, dan meninggalkan beberapa pekerja untuk menjaga sepupunya itu.
Steve dan Ludtvik terus mengikuti jejak hyena itu sampai naik ke atas bukit dan masuk ke rumpun pepohonan. Mereka akhirnya tiba di pintu pondok. Mereka mengelilingi gubuk dengan hati-hati. Tidak ada jejak yang keluar dari arah gubuk. Hanya ada jejak hyena yang masuk ke dalam gubuk. Jadi, hewan itu pasti ada di dalam gubuk.
Mereka semua menyiapkan senapan, lalu mendorong pintu gubuk dengan kaki. Namun, tidak ada hyena di dalam pondok itu. Di lantai tanah, tampak Senecoza berbaring tewas. Kakinya masih berbentuk kaki Hyena. Steve dan Ludtvik saling pandang tanpa bicara sepatah katapun.
(Tamat)
Teks: Adaptasi dari karya Robert E. Howard / Dok. Majalah Bobo
Source | : | dok. Majalah Bobo |
Penulis | : | Vanda Parengkuan |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR