“Ah, mungkin itu sebabnya tempat ini disebut Negeri Kembaran Bumi,” gumam Manae.
Ketika sedang asyik menatap sekeliling, tiba-tiba matanya tertanam pada dua anak sebayanya. Keduanya sedang berkejaran dengan tubuh ringan. Manae tersentak ketika melihat wajah kedua anak itu.
“Eh, itu Timi dan Danil! Mengapa mereka ada di sini juga?” seru Manae.
“Bukan! Mereka itu peri-peri negeri ini. Timchan dan Danchan,” ujar Ratu Peri. “Negeri ini memang mirip sekali dengan bumi. Peri-perinya pun berwajah sama dengan penduduk bumi. Hanya bedanya kami tidak bertulang,” sambungnya lagi.
Ya, ya. Manae kini mengerti mengapa tubuh Ratu Peri tampak ringan dan melayang-layang. Peri-peri Negeri Kembaran Bumi ternyata tidak bertulang! Manae kini memerhatikan Timi eh Timchan dan Danchan yang sedang main bola.
“Hihihi... lucu!” tawa Manae geli ketika Timchan menendang bola, mengenai kaki Danchan. Ow, kaki Danchan langsung melengkung seperti terbuat dari karet. Namun, beberapa saat kemudian kakinya kembali lagi ke bentuk asal. Negeri yang aneh. Senyum di bibir Manae melebar. Namun, seketika senyumnya hilang dan keningnya berkerut.
“Ratu, sebenarnya, buat apa aku dibawa ke negeri ini?” tanya Manae penasaran.
“Sebab kau telah membuat salah satu rakyatku sakit parah.”
Manae terperanjat. Kerutan di keningnya semakin banyak. Bibirnya tampak semakin maju. Sebelum protes keluar dari mulutnya, Ratu itu sudah berkata lagi, “Sebenarnya sudah lama sekali aku ingin mengajakmu ke sini. Berkali-kali kuletakkan kotak bedakku di taman itu, tapi kau tak pernah melihatnya. Baru hari ini kau menemukan dan meniup bedak di kacanya. Hanya dengan cara itulah, aku bisa terlihat olehmu,” ujar Ratu sambil terus berjalan.
Tanpa sadar, mereka tiba di depan sebuah rumah. Aneh! Rumah itu mirip rumah Manae. Hanya warnanya yang berbeda. Lebih berwarna-warni. Ah, ada jendela juga di dekat... ah, di dekat kebun bunga juga, seru Manae di dalam hati, persis kamarnya.
“Lihatlah ke dalam!” ujar Ratu sambil mengintip di jendela itu.
Manae menempelkan wajahnya di kaca jendela.