“Hah?” Manae terperanjat.
“Wajahnya seperti wajahku...” serunya.
Dari jendela itu Manae bisa melihat seorang anak perempuan terbaring lemah. Wajahnya mirip sekali dengan wajah Manae. Bintik-bintik merah memenuhi wajah anak itu.
“Namanya Manachan. Ia kena cacar air,” ujar Ratu Peri sedih.
“Kenapa bisa kena cacar air?” tanya Manae penasaran.
Ratu tidak menjawab. Ia malah menarik tangan Manae kembali ke tempat tadi. Tempat Timchan dan Danchan bermain bola tadi. Namun, kedua anak itu kini tidak bermain bola lagi. Timchan dan Danchan kini duduk murung dan lemas di bawah pohon.
Bolanya tergeletak di antara mereka. “Lo? Kenapa mereka jadi murung?”
Manae semakin penasaran. Ratu kembali tidak menjawab. Ia menuntun tangan Manae menuju ke sebuah danau kecil. Ah, ternyata ada danau juga di sini, pikir Manae heran. Danau yang sama besarnya dengan danau di dekat rumahnya. Bedanya, air danau itu jerniiih sekali. Dan tidak ada sampah botol plastik yang mengambang.
Di tepi danau, Ratu meniup telapak tangannya. Asap-asap berbentuk hati keluar dari telapak tangannya itu. Beterbangan di atas permukaan air danau.
Aah, tiba-tiba muncul gambar-gambar di permukaan air. Persis seperti layar film di bioskop. Layar itu terbagi dua.
“Ratuu, lihat! Itu, kan, temanku, Timi. Kenapa dia menangis? Lo, Danil juga menangis?” tanya Manae heran.
Di permukaan danau, tampak jelas seperti ada dua layar film. Di layar kiri, Timi sedang menangis sedih di kamarnya. Di layar kanan, tampak Danil meneteskan air mata kesakitan. Setahu Manae, Timi dan Danil jarang menangis. Mereka termasuk anak laki-laki yang pantang menangis.