Putri Negeri Kembaran Bumi

By Sylvana Toemon, Selasa, 20 Maret 2018 | 10:10 WIB
Putri Negeri Kembaran Bumi (Sylvana Toemon)

Ratu menggeleng lagi.

“Danil juga menangis normal. Ia kesakitan. Ia berusaha menahan tangisnya. Tapi air matanya menetes juga. Itu bukan menangis cengeng.”

Manae cemberut kesal. Bibirnya berkerut dan sangat maju.

“Lalu, mengapa aku dibilang menangis cengeng? Aku, kan, menangis karena sedih juga!” teriak Manae.

Dadanya terasa penuh menahan jengkel. Air matanya hampir menetes. Ratu tersenyum lembut. Ia berjongkok di depan Manae.

“Kau sebetulnya punya beberapa pilihan. Tapi kau lebih suka memilih menangis. Itu namanya cengeng. Sekarang, ayo kita ulangi kejadian tadi pagi!”

Manae tidak mengerti maksud Ratu Peri. Tetapi, belum sempat ia bertanya, Ratu Peri telah meniup telapak tangannya.

Puff Puff Puff.

Asap-asap berbentuk hati keluar dari telapak tangannya yang lentik. Asap-asap itu merubungi wajah Manae. Beberapa detik Manae tidak dapat melihat apa-apa. Tetapi, ketika asap itu menghilang...

“Lo, rumahku?” Manae terbelalak melihat ke sekelilingnya. Ia telah berada kembali di rumahnya.

“Manae, Ibu tadi terburu-buru sampai lupa membeli bandomu. Besok saja, ya!” terdengar suara ibunya di belakang.

Manae menoleh. Aneh! Ibunya baru pulang dari pasar. Kejadian tadi pagi rupanya terulang. Dan, karena sudah terbiasa membantah, Manae langsung menjawab.