Sejarah batik Afrika
Batik Afrika terlihat mirip dengan batik Indonesia. Mengapa bisa mirip? Itu karena pedagang Belanda yang datang dari Indonesia membawa batik Indonesia ke Afrika. Batik itu dibawa pada sekitar pertengahan abad 19. Masyarakat Afrika pun akhirnya mengolah batik tersebut menjadi motif khas Afrika. Batik Afrika banyak ditemukan di Kamerun, negara yang terletak di Afrika bagian tengah dan barat.
Di Indonesia, batik dibuat dengan teknik pelapisan lilin. Di Afrika, ada dua cara pembuatan batik, yaitu adire eleso dan adire eleko. Adire eleso adalah proses pembuatan batik dengan cara mengikat dan menjahit pola motif pada kain. Setelah itu, kain tersebut akan dicelupkan ke dalam pewarna. Jika dilihat, polanya akan mirip dengan kain jumputan.
Adire eleko adalah proses pembuatan batik dengan cara menambahkan pasta pati yang terbuat dari singkong, beras atau ubi kayu. Pasta pati ini digunakan sebagai pengganti lilin. Dalam proses ini, motif dibuat dengan cara menggambarnya menggunakan tongkat kecil, bulu, atau sepotong tulang halus dan logam yang berbentuk seperti sisir.
Setelah selesai digambar, pasta pati diletakan di bagian-bagian yang tidak ingin diwarnai. Kemudian, kain tersebut akan dicelupkan ke dalam pot tanah liat atau lubang di tanah. Lalu, pasta pati akan dikerok sehingga menghasilkan warna dan motif batik khas Afrika.
Apa beda batik Indonesia dan Afrika?
Walaupun kadang terlihat mirip, kedua batik ini tetap berbeda. Batik dari Indonesia biasanya menggunakan motif yang melambangkan sejarah atau kebudayaan Indonesia. Sedangkan batik Afrika biasanya menggunakan motif tribal, binatang, bunga juga, peta Afrika. Semua ini menggambarkan identitas Kamerun atau Afrika.
Motif batik Afrika berukuran besar, tidak seperti yang dimiliki Indonesia. Jarak antara motifnya juga tidak terlalu rapat. Selain itu, dalam satu kain bisa terdapat dua atau lebih motif yang berbeda. Warna batik Indonesia dan Afrika pun berbeda. Batik Afrika mempunyai warna-warna yang terang walaupun tidak semuanya.
Penulis | : | Aisha Safira |
Editor | : | Vanda Parengkuan |
KOMENTAR