Ken kesal sekali. Ini bukan pertama kalinya pakaiannya hilang di jemuran sebelah rumah.
Beberapa hari yang lalu ia melihat seorang laki-laki menggunakan baju miliknya yang hilang. Hampir saja ia ingin langsung marah-marah dan menuduh laki-laki itu. Namun, Ken ingat lagi kalau baju itu pasti dijual dimana-mana, ia tidak boleh sembarangan menuduh.
“Hai, aku juga punya baju yang sama seperti yang kamu pakai. Beli di mana?” tanya Ken.
Laki-laki itu memandang Ken dengan tatapan heran. “Di pasar kaget yang ada di sana, tuh, tiap hari Minggu,” jawab laki-laki itu sambil berjalan menjauh.
Pasar kaget?
“Apa jangan-jangan pencuri itu menjual barang curiannya di pasar kaget?” tanya Ken dalam hati. Ia pun mulai berencana untuk melihat-lihat pasar kaget yang dimaksud laki-laki itu dua hari lagi, hari Minggu.
Keesokan paginya, Ken dikejutkan oleh kemarahan tetangganya. Ia berkeliling halaman rumah, seperti mencari sesuatu.
“Ada apa, Pak?” tanya Ken.
“Ini ransel yang saya jemur hilang, bahkan sprei yang dijemur istri saya juga hilang,” kata tetangga itu.
Ken pun akhirnya menceritakan pengalaman kehilangan jemurannya juga. Ken dan tetangganya ini begitu kesal dengan ulah si pencuri jemuran.
“Kalau saja dia bilang baik-baik mau minta tas, akan saya kasih, kok,” kata Pak Narto, tetangga Ken.
“Iya Pak, saya juga ada, kok, baju yang disumbangkan,” tambah Ken.
Mereka berdua akhirnya membuat rencana untuk menangkap pencuri tersebut. Pertama-tama, mereka ingin pergi ke pasar kaget untuk melihat apakah barang-barang yang hilang ada disana.
Sampailah di hari Minggu pagi. Ken dan Pak Narto berjalan-jalan di pasar kaget. Tidak lama berjalan, Pak Narto melihat ransel yang sama persis seperti ranselnya yang hilang.
“Ken Ken Ken, ayo lihat sini! Lihat! Ini ranselku yang hilang!” bisik Pak Narto.
“Yakin Pak? Kan, pasti ransel seperti ini ada banyak,” kata Ken.
“Tidak mungkin! Lihat ini, ada tulisan Narto,” kata Pak Narto sambil menunjuk tulisan “Narto” di bagian bawah tas itu. Ken mengangguk menyetujui.
Pak Narto dan Ken memutuskan untuk bertanya.
“Bang, berapaan ini?” tanya Pak Narto.
“Dua puluh ribu saja itu, murah dan bagus!” jawab si penjual.
“Bang, barang-barangnya bagus-bagus nih, dapat dari mana?” tanya Ken.
“Ya biasa, ada pengepulnya. Kalau mau tahu, itu noh yang jualannya paling banyak di ujung!” jawab penjualnya. “Jadi beli nggak?” tanya penjual.
Pak Narto berpikir sebentar. Kalau ia beli, ia kesal karena harus membeli barang miliknya sendiri. Namun, kalau tidak dibeli, nanti ransel kesayangannya jadi milik orang lain.
“Kok bengong, sih. Jadi nggak?” tanya penjualnya kembali.
“Ya sudah, jadi bang, saya beli, ya,” kata Pak Narto sambil menyerahkan uang.
Pak Narto dan Ken langsung menuju pedagang yang ditunjuk tadi. Benar saja, di sana dijual banyak sekali barang. Tempatnya yang paling besar dan ramai. Di sana ada sprei Pak Narto dan pakaian yang Ken yakii sebagai pakaiannya. Ken sembunyi-sembunyi memotret pedagang ini.
“Cari apa?” tanya penjualnya.
“Mau lihat-lihat dulu, ya,” jawab Ken.
“Kalau lihat nggak usah foto-foto,” jawab pedagang itu sambil cemberut.
Ken merasa tertangkap basah.
“Bagus-bagus bang barangnya, dapat di mana?” tanya Pak Narto mengalihkan pembicaraan.
“Kalau mau beli banyak untuk jualan lagi, minta ke saya saja. Itu yang paling mudah. Nggak usah repot-repot, saya kasih murah,” kata penjualnya.
Kini Pak Narto dan Ken sudah yakin kalau memang abang penjual ini yang jadi pelakunya. Namun, mereka belum punya cukup bukti. Artinya, mereka harusnya merencanakan kembali sesuatu untuk menangkap basah pencuri itu.
“Kau tidak mau beli pakaianmu?” tanya Pak Narto pada Ken. Ken hanya menggeleng dengan wajah cemberut.
“Bapak nggak beli sprei?” tanya Ken. Pak Narto menggeleng.
Mereka berdua kembali ke rumah untuk merencanakan penangkapan pencuri jemuran itu.
Bersambung
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR