“Sita, Sita, kok, menangis?” tanya Rinda.
“Sita kangen ibu,” jawab Sita sambil mengusap air matanya. Ia tersenyum.
Rinda mengerti kondisi Sita yang merindukan ibunya yang harus pergi bekerja ke kota karena keterbatasan ekonomi keluarga.
“Ibu mengajarkan Sita untuk memaafkan. Katanya, tidak apa-apa kesal, tetapi jangan ikut-ikutan bikin kesal. Maafkan saja,” kata Sita lagi. “Kalau marah-marah, pasti lelah,” tambah Sita.
Rinda mengangguk. Benar juga kata Sita. Kalau marah-marah jadi lelah, seperti dia yang sekarang kelelahan.
“Kata Ibu, kita pasti punya banyak maaf yang membuat jadi lebih tenang,” kata Sita.
Tiba-tiba Gilang terlihat berlari dari kejauhan. Ia sampai di depan Sita dan Rinda.
“Sita, ini pensilmu. Ternyata terselip di tas sekolahku,” kata Gilang sambil menyerahkan pensil.
“Wah, terima kasih, ya, Gilang!” kata Sita.
“Maaf, ya, Sita, aku ceroboh,” kata Gilang.
“Iya, yang penting besok lebih hati-hati,” jawab Sita sambil tersenyum.
Rinda melihat bagaimana Sita memaafkan Gilang dengan begitu tulus. Namun, tak lupa juga untuk memberitahu Gilang agar tidak mengulanginya. Buktinya, Gilang yang biasanya cuek seperti Farhan, mau mencari pensil dan mengembalikannya.
“Sita, ajarkan aku untuk memaafkan, yah,” kata Rinda.
Sita mengangguk dan tersenyum.
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR