Rinda marah sekali saat Farhan menghilangkan pensil yang dipinjamnya. Apalagi, sikap Farhan juga sangat cuek dan tidak berusaha mencari pensil tersebut.
“Farhan, ayo, dong dicari pensilnya. Kan kamu yang hilangkan. Gimana sih!” kara Rinda begitu marah.
“Aku sudah taruh di atas meja sini tadi, nih, tapi tidak tahu di mana. Ya bukan salahku,” kata Farhan sangat cuek.
Rinda semakin kesal karena Farhan tidak mau ikut mencari pensil itu. Sita yang juga ada di sana ikut bersama Rinda mencari-cari pensil. Mungkin saja pensil itu terjatuh.
Sudah hampir satu jam mereka berkeliling kelas untuk mencari pensil itu, tetapi tidak juga ketemu. Rinda dan Sita sampai kelelahan. Mereka duduk di serambi depan kelas.
“Tega sekali Farhan! Ia yang menghilangkan pensil, tetapi ia yang meninggalkan kita pulang,” kata Rinda dengan wajah kesal.
Sita tersenyum sambil menepuk-nepuk punggung Rinda.
“Sita, kok, nggak marah-marah? Kan kemarin pensil kamu juga dihilangkan Gilang,” kata Rinda penasaran.
“Sita kesal juga, kok,” jawab Sita.
“Terus kenapa bisa tetap tersenyum?” jawab Rinda. “Aku juga tidak lihat kamu marah-marah kemarin,” tambah Rinda.
“Aku kesal di dalam hati, tapi kalau marah-marah kata Ibu kan tidak baik,” kata Sita.
Pikiran Sita melayang pada sosok cantik yang begitu lembut. Seorang wanita yang selalu menyambutnya ramah di rumah sepulang sekolah. Wanita yang membantunya belajar ketika malam tiba. Wanita yang memberikannya semangat setiap kali berangkat ke sekolah.
Tanpa Sita sadari air matanya menetes. Rinda terkejut dan bingung harus berbuat apa.
“Sita, Sita, kok, menangis?” tanya Rinda.
“Sita kangen ibu,” jawab Sita sambil mengusap air matanya. Ia tersenyum.
Rinda mengerti kondisi Sita yang merindukan ibunya yang harus pergi bekerja ke kota karena keterbatasan ekonomi keluarga.
“Ibu mengajarkan Sita untuk memaafkan. Katanya, tidak apa-apa kesal, tetapi jangan ikut-ikutan bikin kesal. Maafkan saja,” kata Sita lagi. “Kalau marah-marah, pasti lelah,” tambah Sita.
Rinda mengangguk. Benar juga kata Sita. Kalau marah-marah jadi lelah, seperti dia yang sekarang kelelahan.
“Kata Ibu, kita pasti punya banyak maaf yang membuat jadi lebih tenang,” kata Sita.
Tiba-tiba Gilang terlihat berlari dari kejauhan. Ia sampai di depan Sita dan Rinda.
“Sita, ini pensilmu. Ternyata terselip di tas sekolahku,” kata Gilang sambil menyerahkan pensil.
“Wah, terima kasih, ya, Gilang!” kata Sita.
“Maaf, ya, Sita, aku ceroboh,” kata Gilang.
“Iya, yang penting besok lebih hati-hati,” jawab Sita sambil tersenyum.
Rinda melihat bagaimana Sita memaafkan Gilang dengan begitu tulus. Namun, tak lupa juga untuk memberitahu Gilang agar tidak mengulanginya. Buktinya, Gilang yang biasanya cuek seperti Farhan, mau mencari pensil dan mengembalikannya.
“Sita, ajarkan aku untuk memaafkan, yah,” kata Rinda.
Sita mengangguk dan tersenyum.
Penulis | : | Putri Puspita |
Editor | : | Sylvana Toemon |
KOMENTAR